"Para Nabi Pernah Dimusuhi, Disakiti bahkan Dibunuh"
Jika kita melihat Palestina saat ini yang begitu ditindas oleh orang-orang Yahudi, perlu kita tahu bahwa hal yang serupa juga pernah terjadi pada manusia mulia dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Cobalah kita membuka mushaf Al Qur’an, kita pasti akan menemukan banyak ayat yang menceritakan bahwa para Nabi pun disakiti oleh kaumnya. Di antara ayat yang menyebutkan hal tersebut adalah berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al Furqon: 31)
Para Nabi pun dimusuhi dengan didustakan. Allah Ta’ala berfirman,
كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ فَأَتْبَعْنَا بَعْضَهُمْ بَعْضًا
“Tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya. Maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain.” (QS. Al Mu’minun: 44)
وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ
“Dan jika mereka mendustakan kamu (sesudah kamu beri peringatan), maka sungguh telah didustakan pula Rasul-rasul sebelum kamu.” (QS. Fathir: 4)
Para rasul pun diejek oleh kaumnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Yasin: 30)
وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولا
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang di utus Allah sebagai Rasul?” (QS. Al Furqon: 41)
Nabi yang mulia pun disakiti. Allah Ta’ala berfirman,
لا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa.” (QS. Al Ahzab: 69)
Bukan hanya disakiti bahkan sampai dibunuh. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan.” (QS. Ali Imron: 112)
كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا لا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ
“Tetapi Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari Rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.” (QS. Al Maidah: 70)
Bahkan yang kelakuan orang Yahudi lebih parah lagi, mereka sampai-sampai merendahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan hanya manusia, namun Sang Kholiq pun dihina. Kita dapat melihat akan hal ini pada beberapa firman Allah,
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108)
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”.” (QS. Al Maidah: 64)
لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوا وَقَتْلَهُمُ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: “Sesunguhnya Allah miskin dan Kami kaya”. Kami akan mencatat Perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah olehmu azab yang mem bakar“.” (QS. Ali Imron: 181)
Sungguh aneh bin ajaib … Setiap kaum muslimin gemar membaca ayat-ayat semacam ini, namun di manakah tadabbur mereka terhadap ayat-ayat tersebut? Ayat-ayat ini sangat gamblang dan jelas menunjukkan bahwa orang-orang mulia seperti para Nabi pun pernah disakiti, dimusuhi, diejek bahkan sampai ada yang dibunuh. Sama halnya dengan keadaan kaum muslimin yang tertindas di Palestina saat ini, bahkan siksa yang ditimpa para Nabi tentu saja lebih parah. Karena semakin tinggi keimanan seseorang, semakin bertambah pula cobaan yang menimpa dirinya.
Apakah Bentuk Disakiti Tadi Dibalas dengan Boikot?
Para ulama pakar ushul memiliki sebuah kaedah:
إن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
“Mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan, itu tidak dibolehkan.”
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa orang Yahudi dengan lancangnya mencela dan merendahkan Allah. Namun lihatlah, apakah Allah sampai memboikot produk-produk mereka karena hal itu? Padahal jelas ini bukan menyakiti manusia, ini menyakiti Sang Kholik, Penguasa Jagad Raya. Adakah ayat yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan untuk memboikot produk-produk Yahudi karena kelakukan mereka yang dengan lancang mencela Allah? Jawabannya, tidak ada sama sekali. Allah tidak memerintahkan untuk boikot, maka itu menunjukkan bahwa boikot produk Yahudi dalam keadaan semacam ini bukanlah jalan untuk membalas kelakukan mereka. Ingatlah kaedah yang disampaikan di atas. Seandainya boikot produk Yahudi disyariatkan, tentu Allah Ta’ala tidak akan mengakhirkan untuk menjelaskannya. Karena ingatlah “ta’khirul bayan ‘an waktil haajah laa yajuz”, artinya mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan, itu tidak dibolehkan.
Begitu pula, lihatlah bahwa orang Yahudi pun tega membunuh nabi-nabi mereka sebagaimana yang Allah kabarkan. Yang dibunuh bukanlah manusia biasa atau muslim biasa, namun seorang Nabi yang mulia. Lantas apakah Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk memboikot produk-produk Yahudi karena kelakuan mereka ini? Jawabannya, tidak sama sekali. Lihatlah juga pada Nabi Musa ‘alaihis salam ketika ia dicela dan disakiti, ia pun tidak memerintahkan pengikutnya untuk memboikot produk-produk musuhnya kala itu. Nabi Musa ‘alaihis salam sama sekali tidak memboikot Fir’aun, padahal Fir’aun jelas-jelas mengakui dirinya adalah Tuhan Yang Maha Tinggi. Bahkan sudah tahu Fir’aun seperti itu, Musa tetap mau diasuh di rumah Fir’aun, ia pun makan di situ, ia memakai pakaian dari Fir’aun, padahal Fir’aun secara terang-terangan melakukan kekufuran yang nyata.
Lihatlah pula kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Di mana beliau disakiti oleh saudara-saudaranya sebagaimana telah kita tahu kisahnya. Namun apakah Nabi Yusuf sampai melakukan boikot terhadap saudara-saudaranya itu? Jawabannya, tidak. Ia pun masih melakukan jual beli dengan mereka. Allah Ta’ala pun tidak memerintahkan pada Nabi Yusuf untuk tidak memberi sembako pada saudara-saudaranya.
Lihatlah kisah-kisah ini dengan mata kepala Anda. Walaupun disakiti, dibunuh dan dimusuhi, namun mereka tidak diperintah untuk memboikot produk musuh-musuh mereka. Renungkanlah baik-baik hal ini.
Sungguh, Al Qur’an bukan hanya dibaca, namun perlu direnungkan secara lebih mendalam. Ini semua agar kita tidak menjadi orang yang ekstrim dalam bersikap dan salah langkah.
Apakah Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– Juga Pernah Memboikot Produk Yahudi?
Jika melihat kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah hijroh, kita tahu bahwa beliau kala itu berada di tengah-tengah orang Yahudi. Seringkali beliau membuat perjanjian dengan mereka. Namun orang Yahudi seringkali mengkhianati perjanjian tersebut. Di antara bentuk tidak sopannya orang Yahudi terhadap umat Islam kala itu adalah bagaimana mereka mengucapkan salam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمُ الْيَهُودُ فَإِنَّمَا يَقُولُ أَحَدُهُمُ السَّامُ عَلَيْكَ . فَقُلْ وَعَلَيْكَ
“Jika seorang Yahudi memberi salam padamu dengan mengatakan ‘Assaamu ‘alaikum’ (semoga kamu mati), maka jawablah ‘wa ‘alaika’ (semoga do’a tadi kembali padamu).” (HR. Bukhari no. 6257)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas kelakuan orang-orang Yahudi dan tidak melakukan boikot sama sekali ketika berdagang dengan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri biasa bermuamalah dengan orang Yahudi, bahkan ketika beliau meninggal dunia, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa ketika itu baju besi beliau tergadai di tempat orang Yahudi untuk membeli makanan gandum sebanyak 30 sho’ (Shahih Bukhari, 3/1068). Dari hadits ini, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang bolehnya bermua’amalah dengan orang kafir selama belum terbukti keharamannya.” (Fathul Bari, 5/141)
Kalau kita perhatikan pula, orang-orang Yahudilah yang menjadi pedagang di kota Madinah, mereka menguasai industri dan pertanian. Namun kaum muslimin di masa itu tetap memanfaatkan hasil pertanian orang-orang Yahudi, mengenakan pakaian mereka, dan memanfaatkan hasil industri mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak menghalangi kaum muslimin untuk bermuamalah dengan mereka. Beliau pun tidak melakukan boikot, padahal Yahudi sudah jelas sering mengkhianati beliau bahkan berlaku kejam terhadap beliau.
Tidak Semua Orang Boleh Asal-Asalan Melakukan Boikot
Sekarang kita akan melihat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua orang Yahudi yang dikenal sering menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ka’ab bin Al Asyrof dan Abu Rofi’. Kita dapat melihat dalam dua riwayat berikut yang menceritakan tentang terbunuhnya mereka berdua.
Riwayat Tentang Ka’ab bin Al Asyrof
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, ‘Amru aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ فَإِنَّهُ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ – صلى الله عليه وسلم –
“Siapa yang bersedia untuk (membunuh) Ka’ab bin Al Asyraf karena dia telah menghina Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?. Lalu Muhammad Bin Maslamah berkata: “Aku bersedia”. Kemudian Muhammad bin Maslamah menemui Ka’ab bin Al Asyraf, lalu berkata: “Kami ingin engkau agar meminjamiku satu atau dua wasaq kurma”. Dia (Ka’ab) menjawab: “Gadaikan dulu isteri-isteri kalian”. Para sahabat Maslamah menjawab: “Bagaimana mungkin kami menggadaikan isteri-isteri kami sedangkan engkau orang arab yang paling tampan?”. Dia berkata: “Kalau begitu gadaikan anak-anak kalian.” Mereka berkata: “Bagaimana kami menggadaikan anak-anak kami, padahal nantinya mereka mendapat cemoohan: “Duh, anaknya digadaikan hanyalah untuk sekedar menadapat satu atau dua wasaq, itu adalah celaan bagi kami, namun kami akan menggadaikan kamu dengan lakmah”. Sufyan berkata: “Maksud lakmah adalah pedang”. Maka Maslamah berjanji kepadanya untuk menemuinya, lalu mereka membunuhnya kemudian mereka temui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mereka kabarkan kejadiannya. (HR. Bukhari no. 2510)
Riwayat Tentang Abu Rofi’ (Seorang Saudagar Yahudi)
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Musa dari Israil dari Abu Ishaq dari Al Barra bin ‘Azib dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus beberapa sahabat Anshar kepada seorang Yahudi bernama Abu Rafi’, dan beliau menunjuk Abdullah bin ‘Atik untuk memimpin mereka. Abu Rafi’ adalah seorang laki-laki yang selalu menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membantu musuh untuk menyerang beliau, dia tengah berada di bentengnya yang berada di wilayah Hijaz. Ketika para sahabat tersebut telah dekat dengan (bentengnya) -yaitu ketika matahari hampir terbenam dan orang-orang telah kembali dari gembalaannya-, maka Abdullah berkata kepada para sahabatnya, “Diamlah kalian di tempat kalian masing-masing, sesungguhnya aku akan berusaha masuk tanpa sepengetahuan penjaga pintu, mudah-mudahan aku bisa masuk.” Setelah itu dia pergi hingga mendekati pintu (gerbang), ia menutup kepalanya seolah-olah orang yang sedang buang hajat. Ketika orang-orang telah masuk, maka penjaga pintu berkata kepadanya, “Wahai Abdullah, jika kamu ingin masuk, maka masuklah, sesungguhnya aku akan menutup pintu gerbang.” Lalu aku masuk dan bersembunyi, ketika orang-orang telah masuk, pintu gerbang pun ditutup, kemudian kunci pintu gerbang digantungkan di atas gantungan kunci.” Abdullah berkata, “Lalu aku bangun ke tempat mereka meletakkan gantungan kunci, aku pun megambilnya, dengan cepat aku membuka pintu gerbang. Sementara itu Abu Rafi’ sedang bergadang bersama orang-orang, yaitu dalam sebuah kamar miliknya di tempat yang agak tinggi. Ketika orang-orang yang bergadang bersamanya telah pulang, aku langsung naik ke rumahnya, setiap kali aku membuka pintu, maka aku langsung menutupnya dari dalam, aku berujar, “Jika mereka memergokiku, maka mereka tidak akan menemukanku hingga aku berhasil membunuhnya.” Lalu aku mendapatinya ia berada di tengah keluarganya, yaitu di rumah yang sangat gelap, sampai aku tidak tahu di manakah dia berada.” Aku pun berseru, “Wahai Abu Rafi’!” dia berkata, “Siapakah itu?” ia lalu bergerak ke arah suara, dan aku langsung menebasnya dengan pedang, karena saat itu aku sangat gugup, maka tebasanku tidak sampai membunuhnya dan ia berteriak sekeras-kerasnya. Lalu aku keluar dari rumah dan aku menunggu dari luar tidak terlalu jauh, kemudian aku masuk menemuinya kembali. Aku bertanya, “Aku mendengarmu berteriak, ada apa sebenarnya wahai Abu Rafi’?” dia menjawab, “Kecelakaan bagi ibumu! Sungguh, seseorang masuk ke dalam rumahku dan berusaha menebasku dengan pedang.” Abdullah berkata, “Kemudian aku kembali menebasnya hingga ia terluka parah, namun aku belum sempat membunuhnya, kemudian aku tusukkan pedang ke perutnya hingga tembus ke punggungnya, setelah itu aku yakin bahwa aku telah membunuhnya. Kemudian aku pergi lewat pintu demi pintu hingga aku sampai ke anak tangga hingga kakiku merasa telah menyentuh permukaan tanah. Dan pada malam itu aku terjatuh di malam yang cahaya bulan sangat terang, dan kakiku pun patah, kemudian aku pun membalutnya dengan kain surbanku. Setelah itu aku pergi perlahan sampai aku duduk di depan pintu gerbang, aku berkata kepada sahabat-sahabatku, “Aku tidak akan keluar dari benteng ini sampai aku tahu bila aku benar-benar telah membunuhnya.” Ketika ayam jantan mulai berkokok, seseorang pembawa berita kematian berdiri dan berkata, “Aku umumkan bahwa Abu Rafi’, saudagar dari Hijaz telah meninggal dunia.” Lalu aku menemui sahabat-sahabatku dan berkata, “Mari kita pergi menyelamatkan diri, karena Allah telah membunuh Abu Rafi’.” Setelah sampai di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hal itu pun aku beritahukan kepada beliau, lantas beliau pun bersabda: “Bentangkanlah kakimu.” Lalu aku membentangkannya, lalu beliau mengusapnya, seakan-akan kakiku tidak merasakan sakit.” (HR. Bukhari no. 3022)
Perhatikanlah dalam dua kisah di atas. Dua orang tersebut sudah dikenal selalu menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun tahu akan hal itu. Akan tetapi, lihatlah apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan semua orang untuk memboikot dua orang Yahudi tersebut? Jawabannya, tidak ada satu orang pun yang memboikot Abu Rofi’ padahal ia seorang pedagang Yahudi. Jika diboikot, tentu akan berpengaruh padanya. Namun hal ini tidak diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah pula dalam kisah Ka’ab bin Al Asyrof. Muhammad bin Maslamah masih bermuamalah dengannya. Padahal jelas Ka’ab adalah orang yang biasa menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang disakiti ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan seorang muslim biasa. Namun lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Muhammad bin Maslamah bermuamalah dengan Ka’ab, sebelum akhirnya ia pun membunuh Ka’ab.
Boikot dalam Rangka Ibadah
Faktor pendorong untuk melakukan boikot terhadap produk orang kafir sudah ada di sejak masa para Nabi dahulu. Namun tidak ada satu pun agama samawi yang mensyariatkan untuk melakukan hal semacam ini. Padahal jelas-jelas para nabi tersebut dicela, disakiti dan bahkan ada yang dibunuh. Orang-orang ketika itu juga ditindas bahkan dibunuh. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari para nabi melakukan boikot, terkhusus lagi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga boikot semacam ini tidak dilakukan oleh para sahabat ridhwanallahu ‘alaihim ajma’in, para tabi’in dan ulama-ulama besar sesudahnya. Padahal dari zaman ke zaman, orang beriman akan selalu ditindas dan disakiti, itulah sunnatullah.
Bagaimana jika boikot ini dilakukan dalam rangka ibadah sebagaimana niatan sebagian orang dalam rangka memperjuangkan Islam?
Sebagai renungan, cobalah kita perhatikan perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah,
وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang bukan kebaikan yang diperintahkan baik dengan perintah wajib atau pun sunnah, maka ia berarti telah salah jalan yang hanya mengikuti langkah-langkah setan dan jalan yang ia tempuh hanyalah jalan setan.” (Majmu’ Al Fatawa, 1/162). Namun boikot pada asalnya adalah sesuatu yang mubah tergantung dari maslahat yang dihadapi.
Janganlah seseorang beribadah kecuali dengan syari’at Allah. Solusi dari kejahilan adalah dengan belajar dan terus belajar. Modal semangat tanpa ilmu tidak cukup memperjuangkan agama yang hanif ini.
Nasehat
Membeci orang kafir adalah suatu keharusan, namun melakukan boikot bukanlah di tangan sembarang orang. Boikot bukanlah hak setiap individu, namun menjadi hak dari penguasa. Ingatlah firman Allah Ta’ala,
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108). Jika setiap orang bertindak seenaknya untuk boikot, maka bisa membuat kebanyakan orang jadi bingung akan halalnya suatu produk. Jadi kembalikanlah urusan tersebut pada penguasa karena merekalah yang lebih berhak daripada kita dalam masalah ini. Itulah jadinya kebencian tak berdasar pada orang kafir, tak dibangun di atas ilmu dan tanpa bukti.
Agar kaum muslimin terlepas dari kezholiman dan penindasan, maka solusinya adalah kembali berpegang teguh pada ajaran agamanya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli secara cara ‘inah[1], mengikuti ekor sapi (sibuk dengan ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jadi solusi bisa selamat dari kehinaan adalah kembali berpegang teguh dengan ajaran Islam.
Kesimpulan Bijak Tentang Boikot
Kesimpulan ini kami hadirkan setelah melihat perselisihan ulama dalam masalah ini antara yang bolehkan dan tidak.
Hukum asal membeli produk orang kafir itu dibolehkan karena ini bagian dari muamalah yang mubah.
Jika terdapat produk muslim dan produk kafir yang kualitasnya sama-sama bagus, maka dahulukanlah membeli produk muslim agar tidak termasuk loyal pada orang kafir. Namun jika ternyata produk muslim tidak memiliki kualitas yang bagus sebagaimana produk orang kafir dan bahkan sering dikelabui, maka saat ini tidak mengapa membeli produk orang kafir.[2]
Hukum asal boikot produk musuh Islam adalah mubah (dibolehkan).
Terkadang hukum boikot bisa menjadi wajib atau sunnah bahkan kadang pula bisa diharamkan tergantung dari maslahat dan mafsadat.
Boikot ini dilakukan jika memang kaum muslimin tidak merasa kesulitan mencari pengganti dari produk yang diboikot.
Sebaiknya boikot ini diserahkan kepada penguasa karena hal ini menyangkut maslahat orang banyak. Jika semua orang angkat bicara dalam masalah ini, maka akan membuat orang awam bingung.
Produk yang diboikot memang betul-betul diyakini hasilnya digunakan untuk menindas kaum muslimin. Jika hanya sangkaan tanpa bukti kuat, maka ini sama saja mengelabui kaum muslimin.
Semoga Allah senantiasa memberi pertolongan pada kaum muslimin. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Nantikan dalam tulisan selanjutnya fatwa-fatwa mengenai hukum boikot. Semoga Allah mudahkan.
[1] Jual beli ‘inah adalah seseorang menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu ia membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah dari penjualan tadi. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad melarang jual beli semacam ini. Alasan jual beli ini terlarang karena terdapat unsur riba.
[2] Sebagaimana Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang akan kami terangkan pada posting selanjutnya.
[3] Tulisan ini terinspirasi dari tulisan di web http://www.albaidha.net/ dengan judul (المقاطعة بين اْدلة الشريعة وانفعالات اْهلها), ditambah http://www.saaid.net/mktarat/qatea/5.htm
Oleh Muhammad Abduh Tuasikal
Tiada ulasan:
Catat Ulasan