Ada sebuah kisah dalam Alkitab Kristen yang sangat aneh dan sulit diterima oleh hati nurani setiap orang yang mengaku bermoral dan beriman. Kisah ini mengenai nabi Lut yang dikabarkan menerima tamu dirumahnya, namun tamu tersebut di ingini oleh umatnya dan ingin di nodai. Anda ingin tahu apa yang dilakukan nabi Lut menurut Alkitab Kristen? Silahkan baca posting pendek ini.
Hakim 19:
22 Tetapi sementara mereka menggembirakan hatinya, datanglah orang-orang kota itu, orang-orang dursila, mengepung rumah itu. Mereka menggedor-gedor pintu sambil berkata kepada orang tua, pemilik rumah itu: “Bawalah ke luar orang yang datang ke rumahmu itu, supaya kami pakai dia.”
23 Lalu keluarlah pemilik rumah itu menemui mereka dan berkata kepada mereka: “Tidak, saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat; karena orang ini telah masuk ke rumahku, janganlah kamu berbuat noda.
24 Tetapi ada anakku perempuan, yang masih perawan, dan juga gundik orang itu, baiklah kubawa keduanya ke luar; perkosalah mereka dan perbuatlah dengan mereka apa yang kamu pandang baik, tetapi terhadap orang ini janganlah kamu berbuat noda.”
Cerita diatas tidak lumrah dan menjijikan. Bayangkan jika ada preman-preman datang kerumah anda, kemudian di suruh memperkosa anak perempuan anda? Aneh bin ajaib. Memang lucu-lucu cerita dalam bible ini. Salah satunya yang satu ini.
Dan yang lebih aneh lagi Tuhannya Kristen tidak melarang tindakan Lot itu. Atau minimal menegurnya, namun Alkitab menyetujui tindakan pemerkosaan itu. Mungkin dimata Alkitab anak perempuan memang tidak ada harganya, yang bisa diperlakukan semaunya, dan mereka tidak ubahnya bagai properti. Bahkan di izinkan untuk menjual anak perempuan sebagai budak, seperti ayat berikut:
Keluaran 21:7 Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, maka perempuan itu tidak boleh keluar seperti cara budak-budak lelaki keluar.
Ngejual anak perempuan jadi budak? Wah bisa diintrogasi KomNas HAM! Namun bagi Alkitab Kristen itu hal yang diperbolehkan. Dari posting ini maka sangat aneh jika umat Kristen menyatakan bahwa agama mereka mengangkat derajat kaum wanita.
Rabu, April 30, 2008
Kata Alkitab Yesus Manusia Terkutuk Tapi Disembah Kristen
Orang yang tergantung pada kayu salib pastilah orang terkutuk.
Kitab Ulangan:
21:22 “Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang,
21:23 maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.”
Lucunya dimana? Orang yang tergantung pada kayu salib yang diduga bernama Yesus, benar-benar dipuja dan dianggap Tuhan oleh orang Kristen, padahal ia adalah orang terkutuk menurut Kitab Ulangan (katanya sih firman Tuhan).
Penyimpangan Kristen ini tidaklah terlalu mengherankan, karena berdasarkan doktrin dari sang pendiri Kristen, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai rasul Tuhan, Paulus Tarsus, berikut ini.
Kitab Galatia:
3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”
Orang yang terkutuk di mata Tuhan, ketika doktrin Paulus Tarsus tersebut ditelan bulat-bulat oleh orang Kristen, bisa menjadi orang yang paling mulia dan bahkan bisa menjadi Tuhan segala. Lucu kan?
http://gereja.phpbb24.com/
Kitab Ulangan:
21:22 “Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang,
21:23 maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.”
Lucunya dimana? Orang yang tergantung pada kayu salib yang diduga bernama Yesus, benar-benar dipuja dan dianggap Tuhan oleh orang Kristen, padahal ia adalah orang terkutuk menurut Kitab Ulangan (katanya sih firman Tuhan).
Penyimpangan Kristen ini tidaklah terlalu mengherankan, karena berdasarkan doktrin dari sang pendiri Kristen, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai rasul Tuhan, Paulus Tarsus, berikut ini.
Kitab Galatia:
3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”
Orang yang terkutuk di mata Tuhan, ketika doktrin Paulus Tarsus tersebut ditelan bulat-bulat oleh orang Kristen, bisa menjadi orang yang paling mulia dan bahkan bisa menjadi Tuhan segala. Lucu kan?
http://gereja.phpbb24.com/
Jika Yesus Adalah Ciptaan, Bagaimana Mungkin Ia Tuhan?
Kita semua tahu Tuhan adalah abadi. Jika seseorang bertanya kepadamu,”Mungkinkah Tuhan menciptakan Tuhan?” jawabnya tentu tidak! Dikarenakan Tuhan adalah abadi bukan ciptaan. Maka bagaimana pula Tuhan yang abadi diciptakan? Ini tidak masuk akal. Jika kita membaca Alkitab kita melihat bahwa Yesus diciptakan. Jika ia diciptakan maka ia bukan Pencipta, oleh karenanya ia bukanlah Tuhan.
Roma 9:29
Dan seperti yang dikatakan Yesaya sebelumnya: “Seandainya Tuhan semesta alam tidak meninggalkan pada kita keturunan, kita sudah menjadi seperti Sodom dan sama seperti Gomora.”
Kolose 1:15
15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,
wahyu 3:14
“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah:
Bagaiman bisa Yesus sebagai ciptaan awal dan mula dari penciptaan jika ia adalah Sang Maha Pencipta?
Didalam Perjanjian Baru, Kisah Rasul 13:33 sebagai kutipan yangt tepat yang ditujukan dari nubuatan dalam Perjanjian Baru (Mazmur)
Mazmur 2:7
Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.(Juga lihat K.Rasul 13:33)
Penulis Perjanjian Baru menyatakan bahwa ayat tersebut menunjuk kepada Yesus. Namun lihat baik. Tuhan berkata: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Oleh karenanya, Yesus bukan Anak Tuhan Yang Abadi/Kekal, hal ini menginggalkan kepada kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan.
Roma 9:29
Dan seperti yang dikatakan Yesaya sebelumnya: “Seandainya Tuhan semesta alam tidak meninggalkan pada kita keturunan, kita sudah menjadi seperti Sodom dan sama seperti Gomora.”
Kolose 1:15
15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,
wahyu 3:14
“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah:
Bagaiman bisa Yesus sebagai ciptaan awal dan mula dari penciptaan jika ia adalah Sang Maha Pencipta?
Didalam Perjanjian Baru, Kisah Rasul 13:33 sebagai kutipan yangt tepat yang ditujukan dari nubuatan dalam Perjanjian Baru (Mazmur)
Mazmur 2:7
Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.(Juga lihat K.Rasul 13:33)
Penulis Perjanjian Baru menyatakan bahwa ayat tersebut menunjuk kepada Yesus. Namun lihat baik. Tuhan berkata: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Oleh karenanya, Yesus bukan Anak Tuhan Yang Abadi/Kekal, hal ini menginggalkan kepada kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan.
Bukti Tuhan itu ESA bukan TRINITY - dipetik dari Al-Kitab (Bible)
Sebagaiman diajarkan Tauhid Nabi Musa;
Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia ( Ulangan 4: 35 )
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
( Ulangan 6 : 4 )
Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorangpun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku ( Ulangan 32 : 39 )
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Daud;
Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami. ( II Samuel 7: 22 )
Di antara segala dewa-dewa tiadalah yang seperti Engkau, ya Tuhan! dan sesuatupun tiada yang dapat disamakan dengan perbuatan-Mu
( Mazmur 86:
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Sulaiman;
lalu berkata: “Ya TUHAN, Allah Israel! Tidak ada Allah seperti Engkau di langit di atas dan di bumi di bawah; Engkau yang memelihara perjanjian dan kasih setia kepada hamba-hamba-Mu yang dengan segenap hatinya hidup di hadapan-Mu ( 1 Raja-raja 8 : 23 )
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Yesaya;
“Kamu inilah saksi-saksi-Ku,” demikianlah firman TUHAN, “dan hamba-Ku yang telah Kupilih, supaya kamu tahu dan percaya kepada-Ku dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi.( Yesaya 43:10 )
Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku
( Yesaya 43:11 )
Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku ( Yesaya 44:6 )
Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain ( Yesaya 45:5-6 )
Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku ( Yesaya 46:9 )
Sebagaimana diajarkab tauhid Yesus;Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa ( Markus 12:29 )
Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia ( Ulangan 4: 35 )
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
( Ulangan 6 : 4 )
Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorangpun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku ( Ulangan 32 : 39 )
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Daud;
Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami. ( II Samuel 7: 22 )
Di antara segala dewa-dewa tiadalah yang seperti Engkau, ya Tuhan! dan sesuatupun tiada yang dapat disamakan dengan perbuatan-Mu
( Mazmur 86:
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Sulaiman;
lalu berkata: “Ya TUHAN, Allah Israel! Tidak ada Allah seperti Engkau di langit di atas dan di bumi di bawah; Engkau yang memelihara perjanjian dan kasih setia kepada hamba-hamba-Mu yang dengan segenap hatinya hidup di hadapan-Mu ( 1 Raja-raja 8 : 23 )
Sebagaimana diajarkan tauhid Nabi Yesaya;
“Kamu inilah saksi-saksi-Ku,” demikianlah firman TUHAN, “dan hamba-Ku yang telah Kupilih, supaya kamu tahu dan percaya kepada-Ku dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi.( Yesaya 43:10 )
Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku
( Yesaya 43:11 )
Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku ( Yesaya 44:6 )
Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain ( Yesaya 45:5-6 )
Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku ( Yesaya 46:9 )
Sebagaimana diajarkab tauhid Yesus;Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa ( Markus 12:29 )
Nabi SAW Meninggalkan Sesuatu Perbuatan Tidak Semestinya Perbuatan Tersebut Haram @ Makruh
Ramai di kalangan muta’akhir ini bersikap keras kepala (mutanatthi’in) dan menyemempitkan pemikiran mereka (mutazammittin). Lantaran yang mengambil pendekatan melampau dalam mengharamkan atau mencela sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW dan para Salafus Soleh. Walaupun mereka ketiadaan hujjah, atau tiada Hadith mahupun Athar yang melarang sesuatu amalan yang ditinggalkan itu. Samada larangan tersebut berstatus Haram atau Makruh.
Apa jua yang ditinggalkan oleh Nabi SAW mempunyai banyak alasan-alasan yang tidak pun bertujuan pengharamannya. Bahkan kekadang ia menjustifikasikan hukum yang harus untuk dilakukan. Keterangan ini boleh difahami berdasarkan beberapa faktor:
[1] ADAT (al-Urf) : Nabi SAW tidak memakan dhabb yang dibawa kepadanya kerana ia tidak ditemui di tempatnya. Namun Baginda SAW tidak melarangnya apabila ditanya. Dua hukum boleh diambil dari peristiwa ini:
a) Peninggalan sesuatu walaupun setelah Baginda SAW dimaklumkan, bukanlah menunjukkan ianya diharamkan;
b) Walaupun sesuatu itu jijik pada pandangan Baginda SAW, namun ia tidak dipandang jijik oleh sebahagian sahabat Baginda SAW. Dan situasi ini tidak semestinya membawa kepada pengharamannya;
[2] LUPA (al-Nisyan) : Nabi SAW pernah terlupa dalam Solatnya dan meninggalkan sesuatu, lalu ditanya: “Adakah sesuatu perubahan pada Solat?” Maka jawab Baginda SAW: “Sesungguhnya aku manusia biasa, aku lupa sepertimana kamu lupa, jika aku lupa peringatkanlah daku.”
[3] TAKUT DIFARDHUKAN: Baginda SAW meninggalkan Solat Terawih berjemaah apabila para sahabat berkumpul untuk mengerjakannya bersama-sama Baginda SAW. Baginda SAW meninggalkan amalan tersebut dikhuatiri amalan berkenaan dianggap wajib oleh umatnya.
[4] TIDAK PERNAH TERLINTAS: Baginda SAW meninggalkan sesuatu kerana tidak pernah terfikir atau terlintas akan kepentingan hal itu. Contohnya, Nabi SAW pada awalnya berkhutbah di atas batang kurma, tidak pernah terlintas di fikiran Baginda untuk menggunakan kerusi/mimbar ketika berkhutbah, dan apabila diajukan cadangan untuk membina mimbar agar Baginda berkhutbah di atasnya, Baginda bersetuju kerana ia lebih berkesan. Dalam kes yang lain, dicadangkan kepada Baginda SAW agar dibuatkan tempat duduk khas untuk Baginda SAW agar rombongan asing mengetahui bahawa itulah Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW bersetuju dengan cadangan mereka itu walaupun Baginda sendiri tidak pernah terfikir tentangnya;
[5] TERMASUK DALAM PERINTAH UMUM: Ada suatu perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW disebabkan perkara berkenaan sudah termasuk dalam perintah Am ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadith, yang menganjurkan melakukan pelbagai amalan-amalan baik ((perlakulah olehmu semua akan kebaikan, moga-moga kamu beroleh kejayaan)). Termasuklah sepertimana Baginda meninggalkan Solat Dhuha, dan amalan-amalan sunat lain yang banyak.
[6] MENINGGALKAN KERANA KHUATIR HATI PARA SAHABAT BELUM TEGUH : Nabi SAW pernah berkata kepada Sayyidatina ‘Aisyah RA bahawa: “Jikalau tidak kerana kaummu ini baru sahaja meninggalkan kekufuran, nescaya aku robohkan Kaabah ini dan bangunkan kembali atas asas Nabi Ibrahim AS”.
Tindakan Nabi SAW untuk “tidak meruntuhkan Kaabah dan tidak membangunkannya kembali” adalah demi menjaga hati-hati para Sahabatnya dari kalangan ahli Makkah. Justeru, apabila tidak ada Hadith atau Athar yang jelas terhadap sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW maka hukumnya tidak menjadi Haram atau Makruh.
Peninggalan Tidak Bermaksud Haram
Peninggalan semata-mata tanpa ada Nas atau kaedah yang jelas menyatakan peninggalan itu diharamkan tidak boleh dijadikan hujjah (bahawa peninggalan itu kerana pengharamannya) Hanya beralasankan sesuatu amalan itu ditinggalkan oleh Baginda SAW. Oleh itu, tidak memadai untuk dihukumkan sesuatu amalan yang ditinggalkan Nabi SAW itu Haram, sebaliknya sesuatu yang didakwa haram itu perlu didatangkan dalil jelas. Di mana dalil tersebut ‘benar-benar’ berfungsi menunjukkan bahawa peninggalan itu kerana pengharamannya. –Petikan dari Kitab al-Radd al-Muhkam al-Matin
Oleh : Shaykh al-Muhaddith Abdullah bin al-Siddiq al-Ghumari
Apa jua yang ditinggalkan oleh Nabi SAW mempunyai banyak alasan-alasan yang tidak pun bertujuan pengharamannya. Bahkan kekadang ia menjustifikasikan hukum yang harus untuk dilakukan. Keterangan ini boleh difahami berdasarkan beberapa faktor:
[1] ADAT (al-Urf) : Nabi SAW tidak memakan dhabb yang dibawa kepadanya kerana ia tidak ditemui di tempatnya. Namun Baginda SAW tidak melarangnya apabila ditanya. Dua hukum boleh diambil dari peristiwa ini:
a) Peninggalan sesuatu walaupun setelah Baginda SAW dimaklumkan, bukanlah menunjukkan ianya diharamkan;
b) Walaupun sesuatu itu jijik pada pandangan Baginda SAW, namun ia tidak dipandang jijik oleh sebahagian sahabat Baginda SAW. Dan situasi ini tidak semestinya membawa kepada pengharamannya;
[2] LUPA (al-Nisyan) : Nabi SAW pernah terlupa dalam Solatnya dan meninggalkan sesuatu, lalu ditanya: “Adakah sesuatu perubahan pada Solat?” Maka jawab Baginda SAW: “Sesungguhnya aku manusia biasa, aku lupa sepertimana kamu lupa, jika aku lupa peringatkanlah daku.”
[3] TAKUT DIFARDHUKAN: Baginda SAW meninggalkan Solat Terawih berjemaah apabila para sahabat berkumpul untuk mengerjakannya bersama-sama Baginda SAW. Baginda SAW meninggalkan amalan tersebut dikhuatiri amalan berkenaan dianggap wajib oleh umatnya.
[4] TIDAK PERNAH TERLINTAS: Baginda SAW meninggalkan sesuatu kerana tidak pernah terfikir atau terlintas akan kepentingan hal itu. Contohnya, Nabi SAW pada awalnya berkhutbah di atas batang kurma, tidak pernah terlintas di fikiran Baginda untuk menggunakan kerusi/mimbar ketika berkhutbah, dan apabila diajukan cadangan untuk membina mimbar agar Baginda berkhutbah di atasnya, Baginda bersetuju kerana ia lebih berkesan. Dalam kes yang lain, dicadangkan kepada Baginda SAW agar dibuatkan tempat duduk khas untuk Baginda SAW agar rombongan asing mengetahui bahawa itulah Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW bersetuju dengan cadangan mereka itu walaupun Baginda sendiri tidak pernah terfikir tentangnya;
[5] TERMASUK DALAM PERINTAH UMUM: Ada suatu perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW disebabkan perkara berkenaan sudah termasuk dalam perintah Am ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadith, yang menganjurkan melakukan pelbagai amalan-amalan baik ((perlakulah olehmu semua akan kebaikan, moga-moga kamu beroleh kejayaan)). Termasuklah sepertimana Baginda meninggalkan Solat Dhuha, dan amalan-amalan sunat lain yang banyak.
[6] MENINGGALKAN KERANA KHUATIR HATI PARA SAHABAT BELUM TEGUH : Nabi SAW pernah berkata kepada Sayyidatina ‘Aisyah RA bahawa: “Jikalau tidak kerana kaummu ini baru sahaja meninggalkan kekufuran, nescaya aku robohkan Kaabah ini dan bangunkan kembali atas asas Nabi Ibrahim AS”.
Tindakan Nabi SAW untuk “tidak meruntuhkan Kaabah dan tidak membangunkannya kembali” adalah demi menjaga hati-hati para Sahabatnya dari kalangan ahli Makkah. Justeru, apabila tidak ada Hadith atau Athar yang jelas terhadap sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW maka hukumnya tidak menjadi Haram atau Makruh.
Peninggalan Tidak Bermaksud Haram
Peninggalan semata-mata tanpa ada Nas atau kaedah yang jelas menyatakan peninggalan itu diharamkan tidak boleh dijadikan hujjah (bahawa peninggalan itu kerana pengharamannya) Hanya beralasankan sesuatu amalan itu ditinggalkan oleh Baginda SAW. Oleh itu, tidak memadai untuk dihukumkan sesuatu amalan yang ditinggalkan Nabi SAW itu Haram, sebaliknya sesuatu yang didakwa haram itu perlu didatangkan dalil jelas. Di mana dalil tersebut ‘benar-benar’ berfungsi menunjukkan bahawa peninggalan itu kerana pengharamannya. –Petikan dari Kitab al-Radd al-Muhkam al-Matin
Oleh : Shaykh al-Muhaddith Abdullah bin al-Siddiq al-Ghumari
Awasi Dakyah Paderi
HUJAH KELIRU PADERI
Bagi menegakkan benang yang basah. Paderi Lawrence mendakwa, “Bible bahasa Melayu menggunakan Allah untuk God dan ‘Tuhan’ untuk Lord.” Sebenarnya dakwaan ini tidak benar sama sekali. Paderi Lawrence dan Herman Sastri bukan arif dan pakar bahasa. Mereka berdua tidak perlu mengajar Melayu Muslim tentang istilah dan kepenggunaan bahasa yang betul dalam bahasa Melayu?
Sebenarnya, Bahasa Melayu memahami istilah Tuhan merujuk kepada God bukannya Lord. Dalam kes ini, Syed Ali Tawfik (Ketua Pengarah IKIM) mengulas : “Orang Melayu faham bahawa apabila istilah Arab iIah digunakan, ia merujuk kepada istilah Inggeris God dan istilah Melayu Tuhan. Apabila istilah Arab Rabb digunakan, ia merujuk kepada istilah Inggeris ‘Lord’.
Oleh yang demikian, apabila kalimah syahadah diterjemahkan dalam bahasa Melayu, bunyinya Tiada Tuhan melainkan Allah, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggeris sebagai There is no God but/except Allah. Sekiranya istilah God diterjemahkan sebagai Allah, maka terjemahan tersebut akan berbunyi Tiada Allah melainkan Allah (”There is no Allah but Allah”). Terjemahan seperti ini tidak pernah berlaku dalam sejarah bahasa orang Melayu.
Ia dilihat satu kontradiksi dengan realiti semasa. Bahkan mengundang kebuntuan dalam memahami agama.
Kesimpulannya, jelas kepada kita bahawa Paderi Lawrence sengaja menggunakan rangkai kata bahasa Melayu tetapi tidak merujuk kepada disiplin bahasa melayu itu sendiri.
Apabila dikhuatiri penggunaan bahasa janggalnya itu dipertikai, beliau mula berpindah ke penggunaan ‘bahasa Malaysia’ dalam terbitan mingguan katholik mereka. Kononnya ia digunakan untuk memenuhi keperluan “ramai penganut Katolik yang bertutur dalam bahasa Malaysia” di negara ini. Langkah ini memanifestasikan kenyataan bahawa beliau sendiri yang mencipta kekeliruan bahasa untuk memerangkap bangsa.
Akhirnya beliau berselindung di sebalik keputusan Jemaah Menteri yang memutuskan bahawa bahasa Melayu dirujuk sebagai ‘Bahasa Malaysia’. Bagi saya, ini adalah satu propaganda dalam menjadikan bahasa sebagai medium terbaru dakwah mereka ke atas Melayu Muslim kita. Apakah golongan kristian sudah ketandusan idea dan miskin bahasa?
DAKWAAN SUMBANG
Paderi Lawrence juga mendakwa, “Kami mengikut Bible,” mengenai penggunaan istilah ‘Allah’ bila merujuk kepada istilah ‘God’. Apakah itu benar? Apakah beliau betul-betul menggunakan Bible sebagai sumber rujukannya? Terjemahan atau versi Bible mana yang beliau rujuk? Rujuk Bible ke buku bahasa Melayu sekolah rendah?
Sebenarnya dalam Last Testament @ New Testament perkataan Tuhan diistilahkan dengan Yahweh, Yehovah, Eloah, El, Elohim dan lain-lain lagi. Penganut Kristian tentu lebih arif tentang nama-nama Tuhan mereka. Justeru, apakah motifnya untuk dipergunakan kalimah Allah dalam kitab Suci dan di gereja mereka. Bukan setakat melayu muslim sahaja keliru. Penganut Kristian katholik pun dikhuatiri keliru dan binggung akibat kenyataan Paderi Lawrence yang membengongkan itu. Jelasnya, beliau tidak merujuk Bible. Tetapi sekadar bermain api bahasa sahaja.
LAFAZ ALLAH DALAM BAHASA ARAB :
Perlu disedari bahawa Islam menggunakan lafaz Allah adalah nama khas. Sedangkan lafaz ‘Tuhan’ (’God’) adalah istilah umum boleh dikongsi antara kepercayaan. Dan Hanya Islam bersifat eksklusif. Keekslusifan Islam terasing dalam perkongsian tadi.
Penggunaan Lafaz Allah dalam Islam menunjukkan keEsaan, objek tumpuan (al-Somad) kemuliaan teragung (Jal al-Jalaluh), Pencipta (al-Khaleq) dan Pemerintah Alam Semesta (Rabb ‘Alamin).
Justeru, istilah Allah hanya sah untuk Tuhan yang Sebenar iaitu Allah. Istilah inilah yang dibawa Para Anbiya’. Ini kerana semua mereka menyeru kepada Islam. Cuma matang dan lengkapnya Islam di zaman Nabi Kita Muhammad SAW.
Manakala mengikut ajaran Kristian, tidak ada nama khas Tuhan dalam Bible. Oleh kerana nama khas Tuhan tidak disebut dalam Bible, berlakulah suatu kekaburan mengenai siapa yang disembah samada Lord (di syurga), God (Jesus-menunggu wahyu) atau Roh Kudus (turun ke bumi).
Kita sedia maklum, konsep Ketuhanan Kristen boleh dipecah-belah. Tiga dalam Satu. Semacam ramuan syampu atau kopi tertentu. Cumanya cabang fahaman berbeza. Kristian Unitarian percaya Bapa ialah Tuhan sebenar. Jesus dan Roh Kudus adalah lebih rendah darinya.
Kristian Trinitarian pula percaya Bapa, Roh Kudus dan Jesus adalah Tuhan Sebenar. Tiga Peribadi dalam Satu Peribadi. Tapi boleh dipecah-belah dengan 3 watak berbeza.
Walau bgaimanapun, mereka tidak mengistilahkan Tuhan Bapa @ Tiga Peribadi Satu Peribadi itu adalah ALLAH.
Sedangkan di dalam Islam adalah jelas. Tuhan Sebenar adalah Allah sahaja. Dialah yang Esa yang tidak boleh dipecah-belah. Jika fahaman ini dipersamakan (antara Allah dgn Tuhan yang lain) ia menjustifikasikan fahaman Islam Liberal. Iaitu fahaman yang menganggap Satu Tuhan Untuk Semua Agama. Nau’zubillah min zalik.
PENELITIAN :
Lebih lanjut mari kita meneliti secara mendalam apa yang dinyatakan dalam al-Quran mengenai siapa Tuhan? menerusi versi terjemahan Inggeris oleh Abdullah Yusuf Ali : Surah al-Ikhlas : “Allah benar wujud, Yang Maha Esa, Yang Maha Tunggal; Yang Maha Kekal Diperlukan, sunyi dari sebarang keperluan; kepada-Nya bergantung semua perkara, kepada-Nya kembali semua benda; Dia tidak beranak, berbapa atau berpasangan. Bagi-Nya tiada suatu pun tara. (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Brentwood, Maryland: Amana Corporation.)
Kalimah Allah tidak mungkin difahami sebagai memiliki anak atau bapa kerana itu akan memasukkan sifat benda bernyawa dalam kefahaman kita mengenai-Nya; sifat-sifat dan hakikat-Nya tunggal tersendiri tidak ada tara-Nya (ringkasan kepada catatan no. 6296, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1991, ms. 1714).
Oleh itu, jelaslah bahawa bahagian akhir penerangan tafsir berkenaan, Al-Qur’an secara jelas menyanggah konsep Tuhan Tiga-Bersatu (Trinity) oleh Bible. Jika wujud percanggahan kenapa hendak dipergunakan juga kalimah Allah?.
Jika ada yang mendakwa nama khas Tuhan adalah Lord, kenapa istilah Lord diterjemahkan dengan ‘Tuhan Bapa’. Buktinya :
“…biarlah dunia percaya yang BAPA telah mengutus aku (Jesus).”(Yohanes,17:21)
“Namun akan hari (terjadi)nya (kiamat) atau ketikanya itu tidak diketahui oleh seorang jua pun, baik segala malaikat yang di syurga pun tidak, anak (Jesus) itu pun tidak, HANYALAH BAPA SAHAJA.”(Markus 13: 32)
Justeru, Jika ada yang mendakwa nama khas Jesus ialah ALLAH, kenapa tidak diterjemahkan sedari dulu lagi JESUS ALLAH. Sebaliknya dipergunakan TUHAN JESUS. Ternyata, mereka cuba merencanakan sesuatu yang tidak berfakta dan tidak masuk dek akal.
Bagi menegakkan benang yang basah. Paderi Lawrence mendakwa, “Bible bahasa Melayu menggunakan Allah untuk God dan ‘Tuhan’ untuk Lord.” Sebenarnya dakwaan ini tidak benar sama sekali. Paderi Lawrence dan Herman Sastri bukan arif dan pakar bahasa. Mereka berdua tidak perlu mengajar Melayu Muslim tentang istilah dan kepenggunaan bahasa yang betul dalam bahasa Melayu?
Sebenarnya, Bahasa Melayu memahami istilah Tuhan merujuk kepada God bukannya Lord. Dalam kes ini, Syed Ali Tawfik (Ketua Pengarah IKIM) mengulas : “Orang Melayu faham bahawa apabila istilah Arab iIah digunakan, ia merujuk kepada istilah Inggeris God dan istilah Melayu Tuhan. Apabila istilah Arab Rabb digunakan, ia merujuk kepada istilah Inggeris ‘Lord’.
Oleh yang demikian, apabila kalimah syahadah diterjemahkan dalam bahasa Melayu, bunyinya Tiada Tuhan melainkan Allah, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggeris sebagai There is no God but/except Allah. Sekiranya istilah God diterjemahkan sebagai Allah, maka terjemahan tersebut akan berbunyi Tiada Allah melainkan Allah (”There is no Allah but Allah”). Terjemahan seperti ini tidak pernah berlaku dalam sejarah bahasa orang Melayu.
Ia dilihat satu kontradiksi dengan realiti semasa. Bahkan mengundang kebuntuan dalam memahami agama.
Kesimpulannya, jelas kepada kita bahawa Paderi Lawrence sengaja menggunakan rangkai kata bahasa Melayu tetapi tidak merujuk kepada disiplin bahasa melayu itu sendiri.
Apabila dikhuatiri penggunaan bahasa janggalnya itu dipertikai, beliau mula berpindah ke penggunaan ‘bahasa Malaysia’ dalam terbitan mingguan katholik mereka. Kononnya ia digunakan untuk memenuhi keperluan “ramai penganut Katolik yang bertutur dalam bahasa Malaysia” di negara ini. Langkah ini memanifestasikan kenyataan bahawa beliau sendiri yang mencipta kekeliruan bahasa untuk memerangkap bangsa.
Akhirnya beliau berselindung di sebalik keputusan Jemaah Menteri yang memutuskan bahawa bahasa Melayu dirujuk sebagai ‘Bahasa Malaysia’. Bagi saya, ini adalah satu propaganda dalam menjadikan bahasa sebagai medium terbaru dakwah mereka ke atas Melayu Muslim kita. Apakah golongan kristian sudah ketandusan idea dan miskin bahasa?
DAKWAAN SUMBANG
Paderi Lawrence juga mendakwa, “Kami mengikut Bible,” mengenai penggunaan istilah ‘Allah’ bila merujuk kepada istilah ‘God’. Apakah itu benar? Apakah beliau betul-betul menggunakan Bible sebagai sumber rujukannya? Terjemahan atau versi Bible mana yang beliau rujuk? Rujuk Bible ke buku bahasa Melayu sekolah rendah?
Sebenarnya dalam Last Testament @ New Testament perkataan Tuhan diistilahkan dengan Yahweh, Yehovah, Eloah, El, Elohim dan lain-lain lagi. Penganut Kristian tentu lebih arif tentang nama-nama Tuhan mereka. Justeru, apakah motifnya untuk dipergunakan kalimah Allah dalam kitab Suci dan di gereja mereka. Bukan setakat melayu muslim sahaja keliru. Penganut Kristian katholik pun dikhuatiri keliru dan binggung akibat kenyataan Paderi Lawrence yang membengongkan itu. Jelasnya, beliau tidak merujuk Bible. Tetapi sekadar bermain api bahasa sahaja.
LAFAZ ALLAH DALAM BAHASA ARAB :
Perlu disedari bahawa Islam menggunakan lafaz Allah adalah nama khas. Sedangkan lafaz ‘Tuhan’ (’God’) adalah istilah umum boleh dikongsi antara kepercayaan. Dan Hanya Islam bersifat eksklusif. Keekslusifan Islam terasing dalam perkongsian tadi.
Penggunaan Lafaz Allah dalam Islam menunjukkan keEsaan, objek tumpuan (al-Somad) kemuliaan teragung (Jal al-Jalaluh), Pencipta (al-Khaleq) dan Pemerintah Alam Semesta (Rabb ‘Alamin).
Justeru, istilah Allah hanya sah untuk Tuhan yang Sebenar iaitu Allah. Istilah inilah yang dibawa Para Anbiya’. Ini kerana semua mereka menyeru kepada Islam. Cuma matang dan lengkapnya Islam di zaman Nabi Kita Muhammad SAW.
Manakala mengikut ajaran Kristian, tidak ada nama khas Tuhan dalam Bible. Oleh kerana nama khas Tuhan tidak disebut dalam Bible, berlakulah suatu kekaburan mengenai siapa yang disembah samada Lord (di syurga), God (Jesus-menunggu wahyu) atau Roh Kudus (turun ke bumi).
Kita sedia maklum, konsep Ketuhanan Kristen boleh dipecah-belah. Tiga dalam Satu. Semacam ramuan syampu atau kopi tertentu. Cumanya cabang fahaman berbeza. Kristian Unitarian percaya Bapa ialah Tuhan sebenar. Jesus dan Roh Kudus adalah lebih rendah darinya.
Kristian Trinitarian pula percaya Bapa, Roh Kudus dan Jesus adalah Tuhan Sebenar. Tiga Peribadi dalam Satu Peribadi. Tapi boleh dipecah-belah dengan 3 watak berbeza.
Walau bgaimanapun, mereka tidak mengistilahkan Tuhan Bapa @ Tiga Peribadi Satu Peribadi itu adalah ALLAH.
Sedangkan di dalam Islam adalah jelas. Tuhan Sebenar adalah Allah sahaja. Dialah yang Esa yang tidak boleh dipecah-belah. Jika fahaman ini dipersamakan (antara Allah dgn Tuhan yang lain) ia menjustifikasikan fahaman Islam Liberal. Iaitu fahaman yang menganggap Satu Tuhan Untuk Semua Agama. Nau’zubillah min zalik.
PENELITIAN :
Lebih lanjut mari kita meneliti secara mendalam apa yang dinyatakan dalam al-Quran mengenai siapa Tuhan? menerusi versi terjemahan Inggeris oleh Abdullah Yusuf Ali : Surah al-Ikhlas : “Allah benar wujud, Yang Maha Esa, Yang Maha Tunggal; Yang Maha Kekal Diperlukan, sunyi dari sebarang keperluan; kepada-Nya bergantung semua perkara, kepada-Nya kembali semua benda; Dia tidak beranak, berbapa atau berpasangan. Bagi-Nya tiada suatu pun tara. (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Brentwood, Maryland: Amana Corporation.)
Kalimah Allah tidak mungkin difahami sebagai memiliki anak atau bapa kerana itu akan memasukkan sifat benda bernyawa dalam kefahaman kita mengenai-Nya; sifat-sifat dan hakikat-Nya tunggal tersendiri tidak ada tara-Nya (ringkasan kepada catatan no. 6296, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1991, ms. 1714).
Oleh itu, jelaslah bahawa bahagian akhir penerangan tafsir berkenaan, Al-Qur’an secara jelas menyanggah konsep Tuhan Tiga-Bersatu (Trinity) oleh Bible. Jika wujud percanggahan kenapa hendak dipergunakan juga kalimah Allah?.
Jika ada yang mendakwa nama khas Tuhan adalah Lord, kenapa istilah Lord diterjemahkan dengan ‘Tuhan Bapa’. Buktinya :
“…biarlah dunia percaya yang BAPA telah mengutus aku (Jesus).”(Yohanes,17:21)
“Namun akan hari (terjadi)nya (kiamat) atau ketikanya itu tidak diketahui oleh seorang jua pun, baik segala malaikat yang di syurga pun tidak, anak (Jesus) itu pun tidak, HANYALAH BAPA SAHAJA.”(Markus 13: 32)
Justeru, Jika ada yang mendakwa nama khas Jesus ialah ALLAH, kenapa tidak diterjemahkan sedari dulu lagi JESUS ALLAH. Sebaliknya dipergunakan TUHAN JESUS. Ternyata, mereka cuba merencanakan sesuatu yang tidak berfakta dan tidak masuk dek akal.
Sejarah Al-Quran
Apakah itu al-Quran.
· "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
· Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Artinya:
· ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya". Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.
Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.
Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:
1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
Artinya:
Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.
Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:
· mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus
· Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
· demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.
Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah
Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.
Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.
Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.
Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.
Nama-nama al-Quran
Allah memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".
Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
Nama ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:
1. Al Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
3. Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.
Surah-surah dalam al-Quran
Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.
Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.
Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:
(1) Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)
· "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
· Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Artinya:
· ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya". Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.
Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.
Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:
1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
Artinya:
Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.
Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:
· mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus
· Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
· demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.
Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah
Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.
Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.
Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.
Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.
Nama-nama al-Quran
Allah memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".
Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
Nama ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:
1. Al Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
3. Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.
Surah-surah dalam al-Quran
Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.
Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.
Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:
(1) Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)
Kewajipan Nafkah: Antara Mahkamah Dunia dengan Mahkamah Akhirat
MANUSIA dilahirkan di dunia oleh Allah Taala sebagai satu ujian kelayakan menerima ganjaran syurga Allah Taala di akhirat. Tidak ada seorang manusia yang melalui kehidupan dunia tanpa sebarang ujian. Ujian Allah di dunia ini kadang-kadang datang dalam bentuk kewajipan yang perlu dilaksanakan, kadang-kadang dalam bentuk amanah yang perlu ditunaikan dan kadang-kadang dalam bentuk kesusahan yang perlu dijalani dengan kesabaran. Ujian-ujian yang diberikan oleh Allah dalam berbagai-bagai bentuk ini bukanlah sebagai satu beban kepada manusia. Tetapi ia adalah sebagai satu ruang atau peluang untuk manusia membuktikan kecemerlangan di hadapan Allah sebagai pelajar sekolah menduduki peperiksaan.
Begitu juga lumrah kehidupan berkeluarga. Setiap ahli keluarga mempunyai peluang menduduki ujian Allah Taala dalam bentuk yang tertentu. Suami diuji oleh Allah dengan kewajipan menyara dan membiayai dan mendidik keluarga. Isteri diuji oleh Allah dengan kewajipan taat kepada suami, menjaga maruah suami dan menghadhanah anak-anak dengan sempurna. Anak-anak pula diuji oleh Allah dengan taat dan menghormati ibu bapa serta menjaga kebajikan mereka apabila sudah tua dan tidak berupaya.
Suami dan bapa diberi peluang oleh Allah untuk menunjukkan kecemerlangan dalam menunaikan kewajipan kekeluargaan. Kewajipan utama yang perlu dilaksanakan oleh suami dan bapa ialah menyara atau membiayaai keperluan-keperluan asasi ahli keluarga dengan sempurna merangkumi makan minum, tempat tinggal, pakaian, pelajaran dan rawatan kesihatan apabila diperlukan. Ini adalah satu kewajipan agama yang ditetapkan oleh Allah dan disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Kewajipan ini mengandungi nilai agama Allah. Menunaikannya akan
diberikan ganjaran pahala dan syurga, manakala mengabaikannya akan menerima balasan dosa dan neraka. Inilah beza antara bapa dengan suami Muslim dengan bapa dan suami bukan Muslim. Suami dan bapa Muslim menunaikan kewajipan menyara dan membiayai keluarga dengan
semangat agama dan mengharapkan ganjaran daripada Allah Taala. Manakala bapa atau suami bukan Muslim menyara keluarga hanya kerana perasaan sayang, belas kasihan atau paksaan undang-undang. Suami dan bapa Muslim yang melaksanakan tuntutan nafkah hanya kerana tiga sebab iaitu sayang, kasihan, dan paksaan undang-undang adalah mengalami kerugian kerana tidak mendapat redha dan ganjaran Allah kerana tidak menunaikannya dengan roh agama.
Semangat agama dalam menyempurnakan kewajipan membiayai atau memberi nafkah kepada ahli keluarga ini jelas terpapar melalui beberapa noktah penting:
1. Kewajipan nafkah bagi keluarga muslim adalah sabit dengan nas syarak, iaitu al-Quran dan al-Sunnah. Hukum wajib yang telah ditetapkan oleh nas ini adalah termasuk dalam lima hukum taklif dalam syariat Islam iaitu wajib, sunat, harus, makruh, dan haram. Mematuhi
hukum taklif ini dengan ikhlas akan menerima ganjaran syarak iaitu pahala dan syurga. Dalam ilmu usul, apabila sesuatu hukum itu diputuskan oleh nas al-Quran dan al-Sunnah serta dipersetujui oleh para ulamak secara ijmak maka ia menunjukkan perkara itu adalah
termasuk dalam keperluan ´daruri´. Apabila ia tidak ditunaikan, maka kehidupan orang berhak menerimanya. Antara nas al-Quran yang mensabitkan kewajipan nafkah ini ialah firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang bermaksud:
"Dan ke atas bapa yang isteri melahirkan anak baginya hendaklah memberikan nafkah makan minum dan pakaian isterinya itu."
2. Rasulullah s.a.w, melalui beberapa hadis menjelaskan kelebihan dan ganjaran yang diperolehi oleh suami dan bapa yang bekerja dan berusaha menunaikan keperluan keluarga. Rasulullah tidak bertutur kecuali dengan wahyu yang diilhamkan oleh Allah. Maka saranan dan galakan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w ini juga adalah galakan dan saranan syarak yang hakikatnya datang daripada Allah Taala. Antara hadis-hadis yang menyentuh perkara ini ialah:
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a:
Maksudnya: "Antara dosa-dosa ada yang tidak akan diampunkan melainkan dengan bekerja dalam mencari rezeki." (Diriwayatkan oleh Tabrani, Abu Nuáim dan Al-Khatib)
Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a:
Maksudnya: "Sesiapa yang berpetang-petangan dalam keadaan letih disebabkan oleh kerja yang dilakukan oleh kedua tangannya maka dia berpetang-petangan dalam keadaan diampunkan dosanya." (Diriwayatkan oleh Tabrani)
Diriwayatkan juga daripada Abu Hurairah:
Maksudnya: "Sesungguhnya di kalangan dosa-dosa itu ada dosa-dosa yang tidak akan dibersihkan oleh puasa, sembahyang dan tidak juga oleh haji dan umrah." Baginda ditanya: "Kalau begitu apakah yang dapat membersihkannya wahai Rasulullah?" Baginda menjawab: "Berpenat lelah dalam mencari rezeki untuk hidup." (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Nuáim).
Kerja dan usaha mencari rezeki untuk menyara dan memenuhi keperluan keluarga dijadikan oleh Rasulullah s.a.w sebagai salah satu sebab dosa-dosa diampunkan. Inilah nilai keagamaan yang mulia dalam urusan mencari rezeki untuk menyara keluarga. Kalau begitu nilainya, bagaimana suami dan bapa boleh memandang remeh dan tidak memberikan perhatian dalam menanganinya. Rasulullah s.a.w memberikan gambaran menyara dan membiayai keluarga ini adalah lubuk yang paling lumayan untuk mendapat ganjaran terutama mendapat keampunan daripada Allah Taala.
Di samping nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam usaha memberi nafkah dan membiayai keluarga, nafkah juga memberi impak sosial yang negatif sekiranya tidak ditangani oleh sempurna. Antara impak sosial yang telah berlaku dalam masyarakat kita ialah:
1. Bapa atau suami dipandang hina oleh masyarakat kerana tidak bertanggungjawab.
2. Isteri atau anak terpaksa meminta-minta daripada orang lain samada secara terus atau melalui media massa seperti surat khabar dan televisyen. Perbuatan ini akan menjatuhkan maruah manusia dan keluarga.
3. Anak-anak akan rasa rendah dan hina diri apabila membandingkan dirinya dengan rakan-rakan lain yang mendapat pembiayaan yang sempurna. Kesan jiwanya ini amat mendalam yang boleh mengakibatkan kesan buruk terhadap pelajaran dan perkembangan hidup anak-anak. Ada
antara mereka yang memaksa diri sendiri untuk berhenti sekolah untuk bekerja mencari rezeki sebelum masa yang sepatutnya.
4. Isteri terpaksa berhempas pulas mencari rezeki sepanjang hari tanpa mengira siang atau malam. Ini memberi kesan kepada perhatian dan bimbingan terhadap anak-anak. Isteri juga sebagai ibu tidak sempat memberikan perhatian kepada anak-anak kerana sibuk kerja mencari rezeki. Akhirnya, anak-anak kehilangan bimbingan dan seterusnya terjebak ke penyelewengan akhlak.
5. Isteri atau anak anak terlibat dengan kegiatan jenayah seperti menjual dadah dan pelacuran untuk mencari sumber pendapatan demi untuk menyara keluarga.
6. Tidak kurang juga tanpa nafkah dan pembiayaan yang mencukupi menyebabkan ada ibu yang beragama Islam menyerahkan anak kepada pihak gereja Kristian untuk dijaga.
Walaupun begitu besar kepentingan memberi nafkah dan membiayai keluarga serta begitu mulia nilainya di sisi agama, tetapi masih kedapatan juga suami atau bapa yang tidak menghiraukan perkara ini. Kadang-kadang mereka dengan sengaja tidak membiayai keperluan
keluarga tanpa rasa bersalah. Ada juga bapa atau suami yang tidak bijak menggunakan rezeki sehingga kehabisan sebelum sempat digunakan untuk membiayai keperluan asas keluarga.
Oleh kerana kedapatan suami atau bapa yang ingkar dan lalai daripada menunaikan kewajipan nafkah ini, maka pihak berwajib terpaksa menyusun peraturan yang diharapkan dapat menangani masalah ini. Berbagai langkah telah disusun termasuklah kursus-kursus perkahwinan dan undang-undang yang digubal dan yang boleh dikuatkuasakan. Berbagai bahagian dan pecahan undang-undang telah digubal bagi mengawal dan mengatasi keingkaran atau kelalaian pihak suami atau bapa daripada menunaikan nafkah. Ini adalah penyelesaian duniawi yang dapat diikhtiarkan oleh manusia bagi menjamin kelangsungan hidup pihak isteri dan anak-anak dalam keadaan normal dan terbela keperluan asasi mereka.
Namun, kadang-kadang ada suami atau bapa yang dapat mengelakkan diri daripada menunaikan kewajipan nafkah ini kerana bijak mencari helah dan mempergunakan sistem undang-undang yang ada. Tidak kurang juga isteri dan anak-anak yang menderita tidak cukup pembiayaan hidup selama tempoh menunggu keputusan mahkamah yang kadang-kadang memakan masa yang lama. Walaupun mahkamah boleh membuat keputusan pihak suami atau bapa mesti membayar nafkah atau jumlah pembiayaan terkebelakang, namun keperluan isteri dan anak-anak yang asasi mesti ditangani pada masanya tanpa boleh ditangguh. Daripada mana isteri dan anak-anak hendak mendapatkan pembiayaan sebelum mahkamah membuat keputusan yang memaksa suami menyerahkan pembiayaan tersebut. Makan minum, pakaian, sewa rumah dan keperluan sekolah anak tidak boleh ditangguhkan. Setiap hari isteri dan anak-anak perlu makan, pakaian dan tempat tinggal tanpa boleh ditangguhkan.
Oleh itu suami atau bapa perlu diperingatkan bahawa walaupun dapat mengelakkan diri atau menangguhkan tempoh memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak melalui proses mahkamah dunia, tetapi mereka tidak dapat mengelakkan diri daripada perhitungan mahkamah akhirat
kerana ia termasuk dalam urusan duniawi yang diambil kira di mahkamah akhirat. Perhitungan inilah yang jarang-jarang diambil kira oleh suami atau bapa yang cuba melarikan diri daripada menunaikan kewajipan membiayai keluarga.
Perlu diingat juga, oleh kerana membiayai keluarga atau memberi nafkah ini adalah urusan agama yang akan diberikan ganjaran pahala apabila menunaikannya dan diberikan balasan dosa jika mengabaikannya, maka hawa nafsu, iblis dan syaitan akan sentiasa campur tangan
menghalang suami atau bapa daripada menunaikannya. Tujuan iblis dan syaitan ialah supaya suami atau bapa ternganga di hadapan Hakim yang Maha Mengetahui yang nyata dan yang tersembunyi di mahkamah padang mahsyar kelak.
Justeru itu, suami dan bapa perlu meneguhkan persepsi dalam fikiran bahaya memberi nafkah kepada tanggungan adalah satu bentuk ujian Allah bagi melihat ia dilalui dengan jaya atau tidak. Dalam konteks mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan jiwa, usaha mencari
rezeki untuk memberi nafkah keluarga adalah peluang keemasan untuk suami atau bapa mendekatkan diri dan mencari keampunan Allah apabila ia ditunaikan dengan ikhlas, bukan dalam keadaan terpaksa dan merungut apabila diperintahkan oleh mahkamah syariah di dunia.
Oleh HASNAN KASAN
Pusat Pengajian Umum
Universiti Kebangsaan Malaysia
Begitu juga lumrah kehidupan berkeluarga. Setiap ahli keluarga mempunyai peluang menduduki ujian Allah Taala dalam bentuk yang tertentu. Suami diuji oleh Allah dengan kewajipan menyara dan membiayai dan mendidik keluarga. Isteri diuji oleh Allah dengan kewajipan taat kepada suami, menjaga maruah suami dan menghadhanah anak-anak dengan sempurna. Anak-anak pula diuji oleh Allah dengan taat dan menghormati ibu bapa serta menjaga kebajikan mereka apabila sudah tua dan tidak berupaya.
Suami dan bapa diberi peluang oleh Allah untuk menunjukkan kecemerlangan dalam menunaikan kewajipan kekeluargaan. Kewajipan utama yang perlu dilaksanakan oleh suami dan bapa ialah menyara atau membiayaai keperluan-keperluan asasi ahli keluarga dengan sempurna merangkumi makan minum, tempat tinggal, pakaian, pelajaran dan rawatan kesihatan apabila diperlukan. Ini adalah satu kewajipan agama yang ditetapkan oleh Allah dan disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Kewajipan ini mengandungi nilai agama Allah. Menunaikannya akan
diberikan ganjaran pahala dan syurga, manakala mengabaikannya akan menerima balasan dosa dan neraka. Inilah beza antara bapa dengan suami Muslim dengan bapa dan suami bukan Muslim. Suami dan bapa Muslim menunaikan kewajipan menyara dan membiayai keluarga dengan
semangat agama dan mengharapkan ganjaran daripada Allah Taala. Manakala bapa atau suami bukan Muslim menyara keluarga hanya kerana perasaan sayang, belas kasihan atau paksaan undang-undang. Suami dan bapa Muslim yang melaksanakan tuntutan nafkah hanya kerana tiga sebab iaitu sayang, kasihan, dan paksaan undang-undang adalah mengalami kerugian kerana tidak mendapat redha dan ganjaran Allah kerana tidak menunaikannya dengan roh agama.
Semangat agama dalam menyempurnakan kewajipan membiayai atau memberi nafkah kepada ahli keluarga ini jelas terpapar melalui beberapa noktah penting:
1. Kewajipan nafkah bagi keluarga muslim adalah sabit dengan nas syarak, iaitu al-Quran dan al-Sunnah. Hukum wajib yang telah ditetapkan oleh nas ini adalah termasuk dalam lima hukum taklif dalam syariat Islam iaitu wajib, sunat, harus, makruh, dan haram. Mematuhi
hukum taklif ini dengan ikhlas akan menerima ganjaran syarak iaitu pahala dan syurga. Dalam ilmu usul, apabila sesuatu hukum itu diputuskan oleh nas al-Quran dan al-Sunnah serta dipersetujui oleh para ulamak secara ijmak maka ia menunjukkan perkara itu adalah
termasuk dalam keperluan ´daruri´. Apabila ia tidak ditunaikan, maka kehidupan orang berhak menerimanya. Antara nas al-Quran yang mensabitkan kewajipan nafkah ini ialah firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang bermaksud:
"Dan ke atas bapa yang isteri melahirkan anak baginya hendaklah memberikan nafkah makan minum dan pakaian isterinya itu."
2. Rasulullah s.a.w, melalui beberapa hadis menjelaskan kelebihan dan ganjaran yang diperolehi oleh suami dan bapa yang bekerja dan berusaha menunaikan keperluan keluarga. Rasulullah tidak bertutur kecuali dengan wahyu yang diilhamkan oleh Allah. Maka saranan dan galakan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w ini juga adalah galakan dan saranan syarak yang hakikatnya datang daripada Allah Taala. Antara hadis-hadis yang menyentuh perkara ini ialah:
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a:
Maksudnya: "Antara dosa-dosa ada yang tidak akan diampunkan melainkan dengan bekerja dalam mencari rezeki." (Diriwayatkan oleh Tabrani, Abu Nuáim dan Al-Khatib)
Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a:
Maksudnya: "Sesiapa yang berpetang-petangan dalam keadaan letih disebabkan oleh kerja yang dilakukan oleh kedua tangannya maka dia berpetang-petangan dalam keadaan diampunkan dosanya." (Diriwayatkan oleh Tabrani)
Diriwayatkan juga daripada Abu Hurairah:
Maksudnya: "Sesungguhnya di kalangan dosa-dosa itu ada dosa-dosa yang tidak akan dibersihkan oleh puasa, sembahyang dan tidak juga oleh haji dan umrah." Baginda ditanya: "Kalau begitu apakah yang dapat membersihkannya wahai Rasulullah?" Baginda menjawab: "Berpenat lelah dalam mencari rezeki untuk hidup." (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Nuáim).
Kerja dan usaha mencari rezeki untuk menyara dan memenuhi keperluan keluarga dijadikan oleh Rasulullah s.a.w sebagai salah satu sebab dosa-dosa diampunkan. Inilah nilai keagamaan yang mulia dalam urusan mencari rezeki untuk menyara keluarga. Kalau begitu nilainya, bagaimana suami dan bapa boleh memandang remeh dan tidak memberikan perhatian dalam menanganinya. Rasulullah s.a.w memberikan gambaran menyara dan membiayai keluarga ini adalah lubuk yang paling lumayan untuk mendapat ganjaran terutama mendapat keampunan daripada Allah Taala.
Di samping nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam usaha memberi nafkah dan membiayai keluarga, nafkah juga memberi impak sosial yang negatif sekiranya tidak ditangani oleh sempurna. Antara impak sosial yang telah berlaku dalam masyarakat kita ialah:
1. Bapa atau suami dipandang hina oleh masyarakat kerana tidak bertanggungjawab.
2. Isteri atau anak terpaksa meminta-minta daripada orang lain samada secara terus atau melalui media massa seperti surat khabar dan televisyen. Perbuatan ini akan menjatuhkan maruah manusia dan keluarga.
3. Anak-anak akan rasa rendah dan hina diri apabila membandingkan dirinya dengan rakan-rakan lain yang mendapat pembiayaan yang sempurna. Kesan jiwanya ini amat mendalam yang boleh mengakibatkan kesan buruk terhadap pelajaran dan perkembangan hidup anak-anak. Ada
antara mereka yang memaksa diri sendiri untuk berhenti sekolah untuk bekerja mencari rezeki sebelum masa yang sepatutnya.
4. Isteri terpaksa berhempas pulas mencari rezeki sepanjang hari tanpa mengira siang atau malam. Ini memberi kesan kepada perhatian dan bimbingan terhadap anak-anak. Isteri juga sebagai ibu tidak sempat memberikan perhatian kepada anak-anak kerana sibuk kerja mencari rezeki. Akhirnya, anak-anak kehilangan bimbingan dan seterusnya terjebak ke penyelewengan akhlak.
5. Isteri atau anak anak terlibat dengan kegiatan jenayah seperti menjual dadah dan pelacuran untuk mencari sumber pendapatan demi untuk menyara keluarga.
6. Tidak kurang juga tanpa nafkah dan pembiayaan yang mencukupi menyebabkan ada ibu yang beragama Islam menyerahkan anak kepada pihak gereja Kristian untuk dijaga.
Walaupun begitu besar kepentingan memberi nafkah dan membiayai keluarga serta begitu mulia nilainya di sisi agama, tetapi masih kedapatan juga suami atau bapa yang tidak menghiraukan perkara ini. Kadang-kadang mereka dengan sengaja tidak membiayai keperluan
keluarga tanpa rasa bersalah. Ada juga bapa atau suami yang tidak bijak menggunakan rezeki sehingga kehabisan sebelum sempat digunakan untuk membiayai keperluan asas keluarga.
Oleh kerana kedapatan suami atau bapa yang ingkar dan lalai daripada menunaikan kewajipan nafkah ini, maka pihak berwajib terpaksa menyusun peraturan yang diharapkan dapat menangani masalah ini. Berbagai langkah telah disusun termasuklah kursus-kursus perkahwinan dan undang-undang yang digubal dan yang boleh dikuatkuasakan. Berbagai bahagian dan pecahan undang-undang telah digubal bagi mengawal dan mengatasi keingkaran atau kelalaian pihak suami atau bapa daripada menunaikan nafkah. Ini adalah penyelesaian duniawi yang dapat diikhtiarkan oleh manusia bagi menjamin kelangsungan hidup pihak isteri dan anak-anak dalam keadaan normal dan terbela keperluan asasi mereka.
Namun, kadang-kadang ada suami atau bapa yang dapat mengelakkan diri daripada menunaikan kewajipan nafkah ini kerana bijak mencari helah dan mempergunakan sistem undang-undang yang ada. Tidak kurang juga isteri dan anak-anak yang menderita tidak cukup pembiayaan hidup selama tempoh menunggu keputusan mahkamah yang kadang-kadang memakan masa yang lama. Walaupun mahkamah boleh membuat keputusan pihak suami atau bapa mesti membayar nafkah atau jumlah pembiayaan terkebelakang, namun keperluan isteri dan anak-anak yang asasi mesti ditangani pada masanya tanpa boleh ditangguh. Daripada mana isteri dan anak-anak hendak mendapatkan pembiayaan sebelum mahkamah membuat keputusan yang memaksa suami menyerahkan pembiayaan tersebut. Makan minum, pakaian, sewa rumah dan keperluan sekolah anak tidak boleh ditangguhkan. Setiap hari isteri dan anak-anak perlu makan, pakaian dan tempat tinggal tanpa boleh ditangguhkan.
Oleh itu suami atau bapa perlu diperingatkan bahawa walaupun dapat mengelakkan diri atau menangguhkan tempoh memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak melalui proses mahkamah dunia, tetapi mereka tidak dapat mengelakkan diri daripada perhitungan mahkamah akhirat
kerana ia termasuk dalam urusan duniawi yang diambil kira di mahkamah akhirat. Perhitungan inilah yang jarang-jarang diambil kira oleh suami atau bapa yang cuba melarikan diri daripada menunaikan kewajipan membiayai keluarga.
Perlu diingat juga, oleh kerana membiayai keluarga atau memberi nafkah ini adalah urusan agama yang akan diberikan ganjaran pahala apabila menunaikannya dan diberikan balasan dosa jika mengabaikannya, maka hawa nafsu, iblis dan syaitan akan sentiasa campur tangan
menghalang suami atau bapa daripada menunaikannya. Tujuan iblis dan syaitan ialah supaya suami atau bapa ternganga di hadapan Hakim yang Maha Mengetahui yang nyata dan yang tersembunyi di mahkamah padang mahsyar kelak.
Justeru itu, suami dan bapa perlu meneguhkan persepsi dalam fikiran bahaya memberi nafkah kepada tanggungan adalah satu bentuk ujian Allah bagi melihat ia dilalui dengan jaya atau tidak. Dalam konteks mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan jiwa, usaha mencari
rezeki untuk memberi nafkah keluarga adalah peluang keemasan untuk suami atau bapa mendekatkan diri dan mencari keampunan Allah apabila ia ditunaikan dengan ikhlas, bukan dalam keadaan terpaksa dan merungut apabila diperintahkan oleh mahkamah syariah di dunia.
Oleh HASNAN KASAN
Pusat Pengajian Umum
Universiti Kebangsaan Malaysia
Langgan:
Catatan (Atom)