Rabu, November 26, 2008

Benarkah Nabi Menikahi Gadis Di Bawah Umur?

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, dia akan paham bahwa kata bikr tidak digunakan untuk bocah ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis ingusan yang masih kanak-kanak adalah jariyah. Sebutan bikr diperuntukkan bagi seorang gadis yang belum menikah serta belum punya pengalaman seksual—yang dalam bahasa Inggris diistilahkan "virgin". Oleh karena itu, jelaslah bahwa 'Aisyah yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa kanak-kanak dan mulai menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.

Kaum Muslim seringkali disudutkan oleh pertanyaan berikut, "Akankah Anda menikahkan puteri Anda yang baru berumur 7 atau 9 tahun dengan seorang lelaki tua yang telah berusia 50 tahun?" Mereka mungkin akan terdiam karena bingung atau justru marah karena tersinggung. Lalu, pertanyaannya selanjutnya adalah, "Jika Anda tidak akan melakukannya, bagaimana Anda bisa menyetujui pernikahan gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun bernama 'Aisyah dengan Nabi Anda, Muhammad bin 'Abdillah?"

Mayoritas umat Islam mungkin akan menjawab bahwa "menikahi gadis di bawah umur" seperti kasus di atas dapat diterima masyarakat Arab kala itu. Jika tidak, masyarakat tentu akan keberatan dengan pernikahan Nabi Muhammad dengan 'Aisyah, puteri Abu Bakr al-Shiddiq yang masih kanak-kanak.

Nabi Muhammad merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi seluruh umat Islam—di mana perilaku, tindakan, dan peri kehidupannya selalu dijadikan sebagai acuan dan rujukan. Namun sekali lagi, dalam konteks "menikahi gadis di bawah umur ini", kaum Muslim seolah dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Sebab bagaimana pun, mayoritas Muslim takkan pernah berpikir—apalagi melakukan tindakan—menikahkan anak perempuannya yang baru berusia 7 atau 9 tahun dengan seorang pria dewasa yang lebih pantas menjadi bapak atau bahkan kakeknya. Jika ada orang tua yang setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, meski tidak semua, akan mencibir dan memandang sinis, terlebih kepada pria uzur yang tega menikahi bocah di bawah umur.

Namun belum lama ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan kasus pernikahan gadis di bawah umur. Pujiono Cahyo Widianto, seorang miliarder beristeri satu dan berusia 43 tahun asal Semarang yang lebih populer disapa Syekh Puji, menikahi bocah berusia 12 tahun bernama Lutviana Ulfa pada 8 Agustus 2008 lalu. Lebih heboh lagi, Syekh Puji yang juga berstatus sebagai pengasuh Ponpes Miftahul Jannah itu berencana menikahi dua gadis ingusan lain dalam waktu yang tidak terlalu lama untuk mengenapkan jumlah bilangan isteri yang dikoleksinya menjadi 4 (empat).

Ketika berita itu merebak ke permukaan, pro-kontra pun bermunculan. Mayoritas menolaknya sekaligus menuding Syekh Puji mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur. Tak ketinggalan, MUI juga menfatwakan perihal keharaman tindakan Syekh Puji yang mengawini gadis ingusan di bawah umur itu.

Syekh Puji tak tinggal diam. Dia berdalih bahwa tindakannya itu sesuai dengan tuntunan syariat karena pernah dicontohkan Nabi Muhammad tatkala menikahi 'Aisyah. Syekh Puji tak sendiri. Pembelaan untuknya, di antaranya, datang dari Fauzan al-Anshari (dulu Kepala Departemen Data dan Informasi MMI) dan Puspo Wardoyo (pemilik Rumah Makan Wong Solo yang pernah memperoleh Poligami Award). Keduanya malah berujar lantang, umat Islam yang mengingkari pernikahan seperti itu berarti mengingkari sunnah Nabi, dan pada gilirannya akan membahayakan keimanannya.

Merespon polemik tersebut, tulisan ini akan menelaah sekaligus menguji kembali catatan-catatan sejarah klasik Islam yang dipakai sebagai dasar keabsahan menikahi gadis di bawah umur. Juga, untuk melihat bagaimana sesungguhnya perspektif Alqur'an tentang persolan tersebut. Harapannya, akan diperoleh pandangan yang obyektif dan berimbang dalam menyikapinya.

Kontradiksi Seputar Usia 'Aisyah

Sebagian besar hadis yang mengisahkan pernikahan Nabi dengan 'Aisyah diriwayatkan oleh Hisyam bin 'Urwah. Hadis-hadis tersebut, antara lain: "Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Rasul SAW sempat menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi 'Aisyah yang kala itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup serumah dengan 'Aisyah saat gadis cilik itu telah memasuki usia 9 tahun" (HR. Al-Bukhari).

Riwayat lain yang menceritakan hal serupa dengan informasi sedikit berbeda adalah: "Nabi SAW meminang 'Aisyah di usia 7 tahun dan menikahinya pada usia 9 tahun. Seringkali Nabi SAW mengajaknya bermain. Tatkala Nabi SAW wafat, usia 'Aisyah saat itu baru 18 tahun" (HR. Al-Bukhari).

Sejarahwan Muslim klasik, al-Thabari dalam Târikh al-Umam wa al-Mulûk mengamini riwayat di atas bahwa 'Aisyah (puteri Abu Bakr) dipinang Nabi pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun. Pada bagian lain, al-Thabari mengatakan bahwa semua anak Abu Bakr yang berjumlah 4 orang dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya. Jika 'Aisyah dipinang Nabi pada 620 M (saat dirinya masih berusia 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623 M (pada usia 9 tahun), hal itu menunjukkan bahwa 'Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M. Yakni, 3 tahun sesudah masa Jahiliyah berakhir (tahun 610 M).

Padahal al-Thabari sendiri menyatakan bahwa 'Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah. Jika 'Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah, setidaknya 'Aisyah berusia 14 tahun saat dinikahi Nabi. Pendeknya, riwayat al-Thabari perihal usia 'Aisyah ketika menikah dengan Nabi tidak reliable dan tampak kontradiktif.

Kontradiksi perihal usia 'Aisyah saat dinikahi Nabi akan semakin kentara jika usia 'Aisyah dihitung dari usia kakaknya, Asma' binti Abi Bakr. Menurut Ibn Hajar al-'Asqallani dalam Tahdzîb al-Tahdzîb, Asma' yang lebih tua 10 tahun dari 'Aisyah meninggal di usia 100 tahun pada 74 Hijrah. Jika Asma' wafat di usia 100 tahun pada 74 H, maka Asma' seharusnya berumur 27 tahun ketika adiknya 'Aisyah menikah pada tahun 1 Hijrah (yang bertepatan dengan tahun 623 M).

Kesimpulannya, berdasarkan riwayat di atas itu pula dapat dikalkulasi bahwa 'Aisyah ketika berumah tangga dengan Nabi berusia sekitar 17 tahun.

Kontradiksi lain seputar mitos usia kanak-kanak 'Aisyah tatkala dinikahi Nabi dapat dicermati melalui teks riwayat Ahmad bin Hanbal berikut. Sepeninggal isteri pertamanya, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehatinya agar menikah lagi. Lantas Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada dalam pikiran Khaulah. Khaulah kemudian berkata, "Anda dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang janda (tsayyib)." Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis perawan (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama 'Aisyah (HR. Ahmad).

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, dia akan paham bahwa kata bikr tidak digunakan untuk bocah ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis ingusan yang masih kanak-kanak adalah jariyah. Sebutan bikr diperuntukkan bagi seorang gadis yang belum menikah serta belum punya pengalaman seksual—yang dalam bahasa Inggris diistilahkan "virgin". Oleh karena itu, jelaslah bahwa 'Aisyah yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa kanak-kanak dan mulai menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.

Perspektif Alqur'an

Sebagai Muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Alqur'an. Apakah Alqr'an mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayat pun yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi Muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Alqur'an mengenai perlakuan terhadap anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri.

Ayat tersebut adalah: "Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya" (QS. al-Nisa': 6).

Dalam kasus anak yang ditinggal wafat oleh orang tuanya, seorang bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini, ayat Alqur'an mempersyaratkan perlunya test dan bukti obyektif perihal tingkat kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya.

Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakr al-Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit untuk dibayangkan bahwa Nabi SAW menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun.

Ringkasnya, pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang ditetapkan Alqur'an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan 'Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi, itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya.

Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara moral maupun intelektual.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr meminta persetujuan puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal di atas, 'Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Rasul SAW. Rasul SAW sebagai utusan Allah yang suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi 'Aisyah, puteri Abu Bakr al-Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual.

Mitos yang Meragukan

Sebetulnya dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi dengan 'Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi.

Menurut hemat saya, riwayat pernikahan 'Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun oleh Hisyam bin 'Urwah tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah klasik Islam. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia 'Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi hanyalah mitos semata.

Nabi adalah seorang gentleman. Dia takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur 'Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah Islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi itu bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun sosiologis (masyarakat).

Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi dengan 'Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tak bisa serta-merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi menikah lebih dari 4 orang isteri.

Oleh Yusuf Hanafi

Antara Pegang Awek dan Anjing

Sekadar renungan dan ingatan bersama.

Antara Pegang Awek & Pegang Anjing

LEMBU: Hai anjing, apa habaq? Macam ada yg tak kena je?

ANJING: Aku tengah tension nih . Mau je aku gigit manusia tadi.

LEMBU : eh? kenapa ?

ANJING: aku lalu tepi dua orang manusia lelaki dan perempuan yg sedang berkepit. Tetiba si lelaki terperanjat dan terus melompat dan berkata "hoi anjing , pergi jauh-jauh, najis!".

LEMBU: Ya, lah. Ko kan haram. Najis tahap berat bagi manusia. Biasalah tu .

ANJING: Kalau aku najis sekali pon, kalau dia tersentuh aku, boleh disamak. Yang dia sentuh dan raba-raba awek dia tu apa? Boleh ke nak samak dosa?

LEMBU: Betul tu . Memegang wanita yg bukan mahramnya tanpa ikatan yg sah, lebih dahsyat kenajisannya daripada memegang ko anjing, malah tak boleh suci sekalipun di samak.

ANJING: Wah .. ayat ko me man g power la... manusia kena ubah pepatah "Pandai macam LEMBU"

Sedikit Penjelasan:

Daripada satu hadis yang diriwayatkan daripada ibnu majah menyatakan bahawa: Bergomolan dengan babi (khinzir) itu adalah lebih baik berbanding dengan bersentuhan (secara sengaja) dengan wanita yang bukan mahram.

Bersentuhan (dengan sengaja & apatah lagi bertujuan syahwat) adalah berdosa dan wajib bertaubat (bagi membersihkan dosa). Sedangkan menyentuh anjing tidaklah berdosa dan hanya perlu disuci (bukan bertaubat). Menyentuh anjing bukanlah satu kesalahan (dosa) atau maksiat. Tetapi, menyentuh wanita bukan mahram adalah berdosa dan merupakan maksiat.

Di dalam satu riwayat hadis yang lain yang maksudnya , Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya . (Riwayat At Tabrani dan Baihaqi)

Kesan Maksiat Terhadap Iman

Maksiat adalah lawan kepada ketaatan, samaada dalam bentuk meninggalkan perintah mahupun melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan “La ilaha illallah” dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini mempunyai nilai (level) yang berbeza-beza, samaada dalam bentuk mengerjakan (kebaikan) mahupun meninggalkan (larangan). Kerana itu maksiat juga berbeza-beza. Dan maksiat bererti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan kerana ingkar atau mendustakan maka ia boleh membatalkan iman. Sebagaimana Allah menceritakan tentang fir’aun melalui firman-Nya:

“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” (an-Naziat: 21)

Dan adakalanya, maksiat itu tidak sampai kepada tahap tersebut iaitu sehingga membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk dan mengurangi keimanan. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalan-nya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di hatinya. Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan melakukan amal soleh maka kembalilah khassyah dan cahaya itu ke dalam hatinya. Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai menutupi serta menguncinya na’udzubillah! Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran.

Imam ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkan dan beristighfar maka bersihlah kembali hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah rain’ yang disebut oleh Allah dalam al-Qur’an:

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifin 83: 14, Hadis Riwayat Ahmad, II/297)

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, iaitu bahawasanya iman itu seperti pohon besar yang rendang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah tergambar kehidupannya yang baik. Semakin bertambah cabangnya, maka semakin bertambah dan sempurnalah pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa cabang mahupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang boleh berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.

Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu membuat pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan tersebut.