Khamis, Julai 13, 2017

Panduan Wudhuk

Rukun rukun wudhu ada 6 : 1. Niat نَوَيْتُ الْوُضُوْءَلِرَفْعِ الْحَدَثِ الْاَصْغَرِفَرْضًالِلّٰهِ تَعَالٰى Niat adalah bertujuan sesuatu yang bersamaan dengan pekerjaannya dan tempatnya dihati dan melafadkannya sunnah. dan waktunya niat didalam melaksanakan wudhu yaitu ketika membasuh bagian pertama dari wajah. adapun bacaan niatnya seperti lafadz diatas. 2. Membasuh Muka Adapun membasuh muka didalam wudhu batas batasnya adalah secara vertikal dari tempat tumbuhnya rambut secara normal sampai ke dagu. dan secara horizontal dari telinga ke telinga. 3. Membasuh Kedua tangan Batasnya yaitu dari ujung jari hingga ke siku lebih sedikit. lebih baiknya lebih 4 atau 5 jari diatas siku. 4. Membasuh sebagian kepala Yaitu membasuh sebagian dari pada area kepala atau rambut. 5. Membasuh kedua kaki Batasnya yaitu dari jari jari kaki hingga kedua mata kaki lebih sedikit, untuk lebih baiknya hingga ke betis. 6. Tertib Yaitu tidak mendahulukan bagian satu dengan bagian yang lain atau sesuai urutan fardhu wudhu diatas.

Source: http://www.fiqihmuslim.com/2014/09/rukun-wudhu.html
Rukun rukun wudhuk ada 6 :

1. Niat

Niat adalah bertujuan sesuatu yang bersamaan dengan pekerjaannya dan tempatnya dihati dan melafadkannya sunnah. dan waktunya niat didalam melaksanakan wudhu yaitu ketika membasuh bagian pertama dari wajah. adapun bacaan niatnya seperti lafadz diatas.

2. Membasuh Muka

Adapun membasuh muka didalam wudhu batas batasnya adalah secara vertikal dari tempat tumbuhnya rambut secara normal sampai ke dagu. dan secara horizontal dari telinga ke telinga.

3. Membasuh Kedua tangan

Batasnya yaitu dari ujung jari hingga ke siku lebih sedikit. lebih baiknya lebih 4 atau 5 jari diatas siku.

4. Membasuh sebagian kepala

Yaitu membasuh sebagian dari pada area kepala atau rambut.

5. Membasuh kedua kaki

Batasnya yaitu dari jari jari kaki hingga kedua mata kaki lebih sedikit, untuk lebih baiknya hingga ke betis.

6. Tertib
  
Yaitu tidak mendahulukan bagian satu dengan bagian yang lain atau sesuai urutan fardhu wudhu diatas.




Wudhuk

Jika kita membuka hadits-hadits yang terkait dengan jumlah hitungan dalam membasuh anggota-anggota wudhu, maka di sana kita akan dapatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu dengan sekali basuh, dua kali basuh, dan tiga kali basuh. Sedang sikap yang terbaik dalam menyikapi ragam sunnah ini adalah dengan melakukan variasi saat melakukannya. Sesekali dengan satu kali basuh dan di waktu lain dengan 2/3 kali basuh, dengan demikian sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dapat teramalkan tanpa mengabaikan salah satunya.

Dalil Ragamnya Basuhan
 
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya berwudhu satu kali, dua kali, dan tiga kali basuh adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, ‘Ketika berwudhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam terkadang membasuh satu kali anggota wudhunya, terkadang dua kali, terkadang pula tiga kali.’ [Shahih. HR. ath-Thahawi, Syarh al-Atsar 1/36].
2. Diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab Wudhu, dari ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu sekali-sekali, ‘Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu satu kali-satu kali.’ [HR. al-Bukhari 157].
3. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dua kali-dua kali.’
4. Adapun keterangan tentang kebiasaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam membasuh anggota wudhunya tiga kali adalah hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, ‘Dari Humran, bahwa Utsman pernah meminta air untuk berwudhu. Ia lalu mencuci tangannya tiga kali. Kemudian berkumur, menghisap air melalui hidung dan mengeluarkannya. Kemudian membasuh tangan kanannya hingga siku sebanayk tiga kali. Lalu, tangan kirinya begitu juga. Kemudian mengusap kepalanya. Kemudian membasuh kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, lalu kaki kirinya begitu juga. Kemudian ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu seperti wudhuku ini ”.’ [Muttafaq ‘Alaihi. Shahih Bukhari 158 dan Muslim 226].

Ayat Al-Quran dan Hadis berkaitan dengan Anjing

Al-Quran

Dan kalau Kami kehendaki nescaya Kami tinggikan pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia bermati-mati cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing, jika engkau menghalaunya: ia menghulurkan lidahnya termengah-mengah, dan jika engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berfikir.
   

Dan engkau sangka mereka sedar, padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka dalam tidurnya ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri; sedang anjing mereka menghulurkan dua kaki depannya dekat pintu gua; jika engkau melihat mereka, tentulah engkau akan berpaling melarikan diri dari mereka, dan tentulah engkau akan merasa sepenuh-penuh gerun takut kepada mereka.

(Sebahagian dari) mereka akan berkata: "Bilangan Ashaabul Kahfi itu tiga orang, yang keempatnya ialah anjing mereka "; dan setengahnya pula berkata:"Bilangan mereka lima orang, yang keenamnya ialah anjing mereka" - secara meraba-raba dalam gelap akan sesuatu yang tidak diketahui; dan setengahnya yang lain berkata: "Bilangan mereka tujuh orang, dan yang kedelapannya ialah anjing mereka". Katakanlah (wahai Muhammad): "Tuhanku lebih mengetahui akan bilangan mereka, tiada yang mengetahui bilangannya melainkan sedikit". Oleh itu, janganlah engkau berbahas dengan sesiapapun mengenai mereka melainkan dengan bahasan (secara sederhana) yang nyata (keterangannya di dalam Al-Quran), dan janganlah engkau meminta penjelasan mengenai hal mereka kepada seseorangpun dari golongan (yang membincangkannya).

Khamis, Julai 06, 2017

Hukum Menyentuh Anjing


Para ulama madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa air liur anjing najis kecuali Maliki yang berpendapat anjing tidak najis sama ada air liur atau bulunya. Bagi kaum muslimin di Indonesia, Malaysia, Singapura, Yaman dan lainnya kebanyakan mengikuti madzhab Syafi’iyyah yang menghukumi najis seluruh bagian tubuh anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah.

Asy-Syarbini mengatakan :

(وما نجس ) من جامد ولو بعضا من صيد أو غيره ( بملاقاة شيء من كلب ) سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا ( غسل سبعا إحداهن ) في غير أرض ترابية ( بتراب )
“– Dan apa yang najis – dari sesuatu yang padat walaupun sebagiannya dari buruan atau lainnya – karena besentuhan dengan bagian anjing – sama ada itu air liurnya atau kencingnya dan semua bagiannya yang basah dan anggota tubuhnya yang yang kering jika menyentuh sesuatu yang basah – maka mensucikannya tujuh kali saah satunya dengan tanah. “[1]

Artinya jika menyentuh anjing salah satunya (anjing atau yang menyentuh) sama ada tubuh, pakaian atau tempat dalam keadaan basah, maka menjadi najis dan mensucikannnya tujuh kali cucian salah satunya dicampur dengan tanah. Mafhumnya jika keduanya tidak basah, maka tidaklah najis.

Imam an-Nawawi berkata :

مذهبنا أن الكلاب كلها نجسة، المُعَلَّم وغيره، الصغير والكبير، وبه قال الأوزاعي وأبو حنيفة وأحمد وإسحاق وأبو ثور وأبو عبيد
“Madzhab kami, mengatakan bahwa anjing seluruh bagiannya adalah najis, sama aja anjing terlatih atau bukan, kecil ataupun besar. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Awza’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur dan Abu Ubaid “.[2]

Selasa, Julai 04, 2017

Beza Makna Sedekah, Infaq dan Zakat

Sedeqah bererti pemberian yang padanya dicari pahala daripada Allah Taala. Rujuk al-Ta`rifat (1/132). Manakala Ibn Manzur memberikan definisi sedekah sebagai apa yang apa yang engkau berikan kerana Allah kepada golongan fakir, yakni yang memerlukan. Rujuk Lisan al-Arab (10/196). Sedekah merangkumi maksud zakat wajib, dan sedekah sunat, seperti yang dimaksudkan dalam
al-Quran:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Maksudnya: Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang keputusan) dalam perjalanan. (Ketetapan hukum yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.
Surah al-Taubah, (9:60)

Begitu juga keterangan hadis dalam surat yang ditulis oleh Sayyidina Abu Bakar RA:
هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى المُسْلِمِينَ
Maksudnya: Kefarduan sedekah (yakni zakat) ini ialah seperti mana yang difardukan oleh Rasulullah SAW ke atas kaum Muslimin.
Hadis riwayat Imam Bukhari (1454)

Manakala, Infaq menurut al-Jurjani bererti membelanjakan harta kepada yang berhajat. Rujuk al-Ta`rifat (1/39). Dalam Surah al-Baqarah (2:3), Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Maksudnya: (Orang yang beriman itu adalah) orang-orang yang beriman dengan perkara yang ghaib, menunakan solat dan mereka memberi infaq apa yang kami rezekikan kepada mereka.

Perkata ‘ينفقون’ dalam ayat ini, menurut pilihan Imam al-Tabari, merujuk kepada pensyariatan zakat dan pemberian nafkah kepada ahli keluarga yang ditanggung. Rujuk Jami’ al-Bayan (1/244). Justeru, sedeqah dan infaq itu ialah sinonim.

Manakala waqaf dari sudut bahasa membawa maksud menahan sesuatu. Dari sudut istilah, ianya membawa maksud menahan harta yang boleh diambil darinya manfaat beserta mengekalkan ‘ain harta tersebut. Ianya menghilangkan pemilikan dan pengurusan harta tersebut dari pewakaf dan harta tersebut akan digunakan pada jalan yang dibenarkan ataupun keuntungan darinya (harta wakaf tersebut) digunakan untuk jalan kebaikan. Lihat Mughni al-Muhtaj, (2/376). Pahala orang yang berwakaf ini akan berkekalan selagi mana harta wakaf itu masih wujud walaupun selepas kematian pewakaf. Wakaf juga disebut sebagai sedekah jariah.

Sabda Rasulullah SAW:
إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Maksudnya: Jika mati seorang manusia itu akan terputuslah catitan amalannya melainkan pada tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak soleh yang mendoakan baginya kebaikan.

Hadis riwayat Imam Muslim (1631)
Imam Nawawi RAH menjelaskan bahawa sedekah jariah itu bermaksud wakaf. Rujuk Syarh Muslim (11/85).

Justeru, boleh disimpulkan bahawa pengertian infaq dan sedekah memiliki maksud zakat wajib, sedekah sunat, dan wakaf. Manakala wakaf ialah pengertian yang lebih khusus kepada amakan wakaf.

Wallahua’lam.

Isnin, Julai 03, 2017

Hukum Gabung Puasa Qadha dan Puasa Enam Syawal

Persoalan pertama berkaitan niat puasa ganti Ramadan yang tertinggal adakah mendapat pahala puasa sunat Syawal.

Persoalan ini terdapat khilaf (perbezaan pandangan) di kalangan ulama.

Pendapat pertama: Sebahagian ulama berpendapat, tidak boleh mencampurkan niat puasa sunat dengan niat puasa fardhu yang lain atau dengan puasa sunat yang lain. Sekiranya dilakukan, maka puasa itu tidak sah, sama ada bagi yang fardhu ataupun yang sunat. Pendapat ini bertepatan dengan sabda Nabi SAW:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ صَامَ الدَّهْر

Maksudnya: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”. (HR Muslim)

Bagi memenuhi maksud hadis ini, dalam usaha memperolehi pahala yang dijanjikan iaitu pahala berpuasa setahun, maka hendaklah seseorang itu menyempurnakan puasa Ramadan (yang merupakan puasa wajib) kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal (yang merupakan puasa sunat). [Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid – www.islamqa.com]

Pendapat kedua: Di kalangan ulama Syafie ada yang berpendapat bahawa ganjaran puasa enam Syawal tetap akan diperolehi apabila seseorang berpuasa qadha sekalipun dia tidak berniat menggabungkan kedua-duanya. Namun, pahala yang diperolehi itu adalah kurang berbanding seorang yang berpuasa kedua-duanya secara berasingan. [Fatawa al-Azhar 9/261]

Setelah diteliti, dapat disimpulkan bahawa pendapat kedua iaitu pandangan ulama yang membolehkan ‘puasa dua dalam satu’ ini tidak disandarkan kepada mana-mana nas Al-Quran ataupun Al-Sunnah yang sahih. Mereka juga mengatakan bahawa amalan ini hanya mendapat pahala kerana kebetulan berpuasa qadha pada bulan Syawal, sama seperti pahala sunat tahiyyatul masjid dengan solat fardhu (orang yang terus mengerjakan solat fardhu apabila masuk ke dalam masjid akan mendapat juga pahala sunat tahiyyatul masjid)

Timbul persoalan, yang manakah yang lebih afdal untuk dilakukan bagi memperoleh pahala kedua-duanya; mendahulukan puasa sunat enam hari dalam Syawal atau mengqadhakan puasa Ramadan? Dalam persoalan ini terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama: Boleh mendahulukan puasa sunat Syawal, berdasarkan hadis Aishah RA yang menyatakan bahawa:

( كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إلَّا فِي شَعْبَانَ. قال يحيى:الشغل من النبي أو بالنبي )

Maksudnya: “Aku berpuasa di bulan Ramadan dan aku tidak mengqadha kecuali dalam bulan Syaaban”. Kerana sibuk melayani Rasulullah SAW.” (HR Bukhari:1950, penjelasan “kerana sibuk melayani Rasulullah SAW” ialah penjelasan salah seorang perawi hadis yang bernama Yahya bin Said.)

Para ulama yang mengemukakan pendapat pertama berhujah bahawa sudah tentu isteri Rasulullah SAW iaitu Aishah RA tidak meninggalkan puasa sunat enam Syawal. Tindakannya yang mengqadhakan puasa Ramadan pada bulan Syaaban menunjukkan bahawa adalah dibolehkan untuk berpuasa sunat Syawal meskipun seseorang itu belum mengqadhakan puasa Ramadan.

Pendapat kedua: Tidak boleh mendahulukannya, berdasarkan hadis yang menyatakan kelebihan puasa sunat Syawal tadi. Rasulullah SAW mensyaratkan puasa Ramadan terlebih dahulu sebelum mengiringinya dengan puasa enam Syawal bagi mendapatkan ganjaran pahala yang dijanjikan.

“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan enam hari puasa Syawal, kerana dia tidak boleh melanjutkan puasa Ramadan dengan enam hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadannya terlebih dahulu.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuth wal Ifta’, 10/392]

Sekiranya diteliti dan dihalusi, maka pendapat kedua adalah lebih rajih (kuat) kerana ia bertepatan dengan dalil puasa sunat Syawal itu sendiri. Selain itu, membayar hutang yang wajib hendaklah didahulukan daripada memberi sedekah yang sunat.

Namun, sekiranya seorang itu tidak berkesempatan kerana keuzuran untuk melakukan qadha kemudian berpuasa enam, tetapi dia berkeyakinan bahawa akan sempat mengqadhakannya sebelum Ramadan tahun berikutnya, maka pendapat yang pertama tadi boleh diterima, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Aishah RA.

Manakala berkaitan hari-hari yang tertentu pula, dinyatakan bahawa:

“Hari-hari ini (berpuasa dalam bulan Syawal) tidak harus dilakukan langsung setelah Ramadan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah hari raya, dan mereka boleh melakukannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, mana-mana yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuth wal Ifta’, 10/391]

Imam An-Nawawi RH berkata:

“Sahabat-sahabat kami berkata: Adalah dianjurkan untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadis ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga dibolehkan, kerana ia masih berada pada makna umum dari hadis tersebut. Kami tidak berbeza pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Daud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab]

Adalah dianjurkan untuk menyegerakan dan berlumba-lumba dalam melakukan puasa enam Syawal berdasarkan umum firman Allah Taala:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Maksudnya: “Dan bersegeralah kamu kepada (mengerjakan amalan yang baik untuk mendapat) ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [Surah Ali Imran:133]


Wallahu a’lam.

Hukum Tidak Mahu Berkahwin


Islam adalah agama yang menggalakkan seseorang yang mampu kahwin dan bersedia menjalankan tanggungjawab sebagai suami dan ketua keluarga supaya berkahwin dan membina rumah tangga. Rasulullah s.a.w. tidak menyukai orang yang membujang seumur hidup, kecuali dia mempunyai masalah yang tidak mengizinkannya untuk berkahwin. Mungkin anda termasuk dalam golongan yang dikecualikan.

Nabi Muhammad s.a.w. dan rasul-rasul terdahulu terdiri daripada golongan orang yang berkahwin dan mempunyai zuriat keturunan. Kebanyakannya beristeri lebih daripada satu. Hakikat ini dinyatakan dalam firman Allah yang bermaksud: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka isteri-isteri dan zuriat keturunan (al-Ra'd: 38).
Dalam hadis pula, nabi s.a.w. mengecam segolongan sahabat yang pernah menyatakan hasrat mereka untuk berkasi dan terus membujang sepanjang hayat bagi menumpukan sepenuh usia mereka kepada ibadat dan solat malam. Baginda menasihati mereka: ``Kahwinlah kamu dengan wanita yang penyayang dan ramai anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan ramai bilangan umatku pada hari kiamat.''

Meskipun rangsangan kahwin begitu jelas, namun hukumnya berbeza antara seorang individu dengan yang lain, mengikut keperluan dan keadaan. Bagi mereka yang mampu berkahwin, berkemahuan tinggi serta menaruh kebimbangan terjebak dalam maksiat, maka hukumnya wajib kahwin dan berdosa jika ditangguhkan.