Rabu, Julai 02, 2008

Dosa yang Dianggap Biasa: SYIRIK

Syirik atau menyekutukan Allah adalah sesuatu yang amat diharamkan dan secara mutlak ia merupakan dosa yang paling besar. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali) ? mereka menjawab : ya, wahai Rasulullah ! beliau bersabda : menyekutukan Allah“ (muttafaq ‘alaih, Al Bukhari hadits nomer : 2511)

Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya (An Nisa : 4 8)

Di antara macam syirik adalah syirik besar. Syirik ini menjadi penyebab keluarnya seseorang dari agama Islam, dan orang yang bersangkutan, jika meninggal dalam keadaan demikian, akan kekal di dalam neraka.

Di antara kenyataan syirik yang umum terjadi di sebagian besar negara-negara Islam adalah:

Menyembah Kuburan

Yakni kepercayaan bahwa para wali yang telah meninggal dunia bisa memenuhi hajat, serta bisa membebaskan manusia dari berbagai kesulitan. Karena kepercayaan ini. mereka lalu meminta pertolongan dan bantuan kepada para wali yang telah meninggal dunia, padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia (Al Isra’ :23)

Termasuk dalam kategori menyembah kuburan adalah memohon kepada orang-orang yang telah meninggal, baik para nabi, orang-orang shaleh, atau lainnya untuk mendapatkan syafaat atau melepaskan diri dari berbagai kesukaran hidup. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? (An Naml : 62)

Sebagian mereka, bahkan membiasakan dan mentradisikan menyebut nama syaikh atau wali tertentu, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ketika melakukan sesuatu kesalahan, dalam setiap situasi sulit, ketika di timpa petaka, musibah atau kesukaran hidup.

Di antaranya ada yang menyeru : “ ahai Muhammad.” Ada lagi yang menyebut :“Wahai Ali”. Yang lain lagi menyebut : “Wahai Jailani”. Kemudian ada yang menyebut : “Wahai Syadzali”. Dan yang lain menyebut : “Wahai Rifai. Yang lain lagi : “Al Idrus sayyidah Zainab, ada pula yang menyeru : “Ibnu ‘Ulwan dan masih banyak lagi. Padahal Allah telah menegaskan:

“Sesungguhnya orang-orang yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu” (Al A’raaf : 194)

Sebagian penyembah kuburan ada yang berthawaf (mengelilingi) kuburan tersebut, mencium setiap sudutnya, lalu mengusapkannya ke bagian-bagian tubuhnya. Mereka juga menciumi pintu kuburan tersebut dan melumuri wajahnya dengan tanah dan debu kuburan. Sebagian bahkan ada yang sujud ketika melihatnya, berdiri di depannya dengan penuh khusyu’, merendahkan dan menghinakan diri seraya mengajukan permintaan dan memohon hajat mereka. Ada yang meminta sembuh dari sakit, mendapatkan keturunan, digampangkan urusannya dan tak jarang di antara mereka yang menyeru : Ya sayyidi aku datang kepadamu dari negeri yang jauh maka janganlah engkau kecewakan aku. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tidak dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka”. (Al Ahqaaf : 5)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah niscaya akan masuk neraka (HR Bukhari, fathul bari : 8/176)

Sebagian mereka, mencukur rambutnya di pekuburan, sebagian lagi membawa buku yang berjudul : Manasikul hajjil masyahid (tata cara ibadah haji di kuburan keramat). Yang mereka maksudkan dengan masyahid adalah kuburan kuburan para wali. Sebagian mereka mempercayai bahwa para wali itu mempunyai kewenangan mengatur alam semesta, dan mereka bisa memberi madharat dan manfaat. Padahal Allah Tabaroka wata’ala berfirman :

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya” (Yunus : 107)

Bernadzar Untuk Selain Allah

Termasuk syirik adalah bernadzar untuk selain Allah seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang bernadzar memberi lilin dan lampu untuk para ahli kubur.

Menyembelih Binatang Untuk Selain Allah

Termasuk syirik besar adalah menyembelih binatang untuk selain Allah.padahal Allah Tabaroka wata’ala berfirman :

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” ( Al Kutsar : 2)

Maksudnya berkurbanlah hanya untuk Allah dan atas namaNya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR Muslim, shahih Muslim No : 197 8)

Pada binatang sembelihan itu terdapat dua hal yang diharamkan.

Pertama : penyembelihannya untuk selain Allah, dan kedua : penyembelihannya dengan atas nama selain Allah. Keduanya menjadikan daging binatang sembelihan itu tidak boleh dimakan. Dan termasuk penyembelihan jahiliyah -yang terkenal di zaman kita saat ini- adalah menyembelih untuk jin. Yaitu manakala mereka membeli rumah atau membangunnya, atau ketika menggali sumur mereka menyembelih di tempat tersebut atau di depan pintu gerbangnya sebagai sembelihan (sesajen) karena takut dari gangguan jin [lihat Taisirul Azizil Hamid, hal : 158]

Menghalalkan Apa Yang Diharamkan Oleh Allah Atau Sebaliknya

Di antara contoh syirik besar -dan hal ini umum dilakukan– adalah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau sebaliknya. Atau kepercayaan bahwa seseorang memiliki hak dalam masalah tersebut selain Allah Subhanahuwa ta’ala. Atau berhukum kepada perundang-undangan jahiliyah secara sukarela dan atas kemauannya. Seraya menghalalkannya dan kepercayaan bahwa hal itu dibolehkan . Allah menyebutkan kufur besar ini dalam firmanNya :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”. (At Taubah : 31)

Ketika Adi bin hatim mendengar ayat tersebut yang sedang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ia berkata : “ orang-orang itu tidak menyembah mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan tegas bersabda : “Benar, tetapi meraka (orang-orang alim dan para rahib itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya halal. Dan mengharamkan atas mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya sebagai barang haram, itulah bentuk ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib [Hadits riwayat Al Baihaqi, As sunanul Kubra : 10/ 116, Sunan At Turmudzi no : 3095, Al Albani menggolongkannya dalam hadits hasan. lihat ghayatul muram: 19].

Allah menjelaskan, di antara sifat orang-orang musyrik adalah sebagaimana dalam firmanNya :

“Dan meraka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah)”. (At Taubah : 29).

“Katakanlah : Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah : Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan kedustaan atas Allah? (Yunus : 59).

Sihir, Perdukunan dan Ramalan

Temasuk syirik yang banyak terjadi adalah sihir, perdukunan dan ramalan. Adapun sihir, ia termasuk perbuatan kufur dan di antara tujuh dosa besar yang menyebabkan kebinasaan. Sihir hanya mendatangkan bahaya dan sama sekali tidak bermanfaat bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi madharat kepadanya dan tidak memberi manfaat (Al Baqarah : 102).

“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (Thaha : 69)

Orang yang mengajarkan sihir adalah kafir. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir) hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu kepada seseorangpun) sebelum mengatakan, “sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (Al Baqarah : 102).

Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, pekerjaannya haram dan jahat. Orang-orang bodoh, sesat dan lemah iman pergi kepada para tukang sihir untuk berbuat jahat kepada orang lain atau untuk membalas dendam kepada mereka. Di antara manusia ada yang melakukan perbuatan haram, dengan mendatangi tukang sihir dan memohon pertolongan padanya agar terbebas dari pengaruh sihir yang menimpanya. Padahal seharusnya ia mengadu dan kembali kepada Allah, memohon kesembuhan dengan KalamNya, seperti dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas) dan sebagainya.

Dukun dan tukang ramal itu memanfaatkan kelengahan orang-orang awam (yang minta pertolongan padanya) untuk mengeruk uang mereka sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan banyak sarana untuk perbuatannya tersebut. Di antaranya dengan membuat garis di pasir, memukul rumah siput, membaca (garis) telapak tangan,cangkir, bola kaca, cermin, dsb.

Jika sekali waktu mereka benar, maka sembilan puluh sembilan kalinya hanyalah dusta belaka. Tetapi tetap saja orang-orang dungu tidak mengingat, kecuali waktu yang sekali itu saja. Maka mereka pergi kepada para dukun dan tukang ramal untuk mengetahui nasib mereka di masa depan, apakah akan bahagia, atau sengsara, baik dalam soal pernikahan, perdagangan, mencari barang-barang yang hilang atau yang semisalnya.

Hukum orang yang mendatangi tukang ramal atau dukun, jika mempercayai terhadap apa yang dikatakannya adalah kafir, keluar dari agama Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mendatangi dukun dan tukang ramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR Ahmad: 2/ 429, dalam shahih jami’ hadits, no : 5939)

Adapun jika orang yang datang tersebut tidak mempercayai bahwa mereka mengetahui hal-hal ghaib, tetapi misalnya pergi untuk sekedar ingin tahu, coba-coba atau sejenisnya, maka ia tidak tergolong orang kafir, tetapi shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mendatangi tukang ramal, lalu ia menanyakan padanya tentang sesuatu, maka tidak di terima shalatnya selama empat puluh malam” (Shahih Muslim : 4 / 1751).

Ini masih pula harus dibarengi dengan tetap mendirikan shalat (wajib) dan bertaubat atasnya.

Kepercayaan adanya pengaruh bintang dan planet terhadap berbagai kejadian dan kehidupan manusia.

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani, Ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam shalat bersama kami, shalat subuh di Hudaibiyah – Di mana masih ada bekas hujan yang turun di malam harinya- setelah beranjak beliau menghadap para sahabatnya seraya berkata:

“Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan oleh Robb kalian? Mereka menjawab : “ Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Allah berfirman : Pagi ini di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang berkata: kami diberi hujan denagn karunia Allah dan rahmatNya maka dia beriman kepadaKu dan kafir terhadap bintang. Adapun orang yang berkata: (hujan ini turun) karena bintang ini dan bintang itu maka dia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada bintang” (HR Al Bukhari, lihat Fathul Baari : 2/ 333).

Termasuk dalam hal ini adalah mempercayai Astrologi (ramalan bintang) seperti yang banyak kita temui di Koran dan majalah. Jika ia mempercayai adanya pengaruh bintang dan planet-planet tersebut maka dia telah musyrik. Jika ia membacanya sekedar untuk hiburan maka ia telah melakukan perbuatan maksiat dan berdosa. Sebab tidak dibolehkan mencari hiburan dengan membaca hal-hal syirik. Di samping syaitan terkadang berhasil menggoda jiwa manusia sehingga ia percaya kepada hal-hal syirik tersebut, maka membacanya termasuk sarana dan jalan menuju kemusyrikan.

Termasuk syirik, mempercayai adanya manfaat pada sesuatu yang tidak dijadikan demikian oleh Allah Tabaroka wata’ala. Seperti kepercayaan sebagian orang terhadap jimat, mantera-mantera berbahu syirik, kalung dari tulang, gelang logam dan sebagainya, yang penggunaannya sesuai dengan perintah dukun, tukang sihir, atau memang merupakan kepercayaan turun menurun.

Mereka mengalungkan barang-barang tersebut di leher, atau pada anak-anak mereka untuk menolak ‘ain (pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang dengan pandangan matanya; kena mata). Demikian anggapan mereka. Terkadang mereka mengikatkan barang-barang tersebut pada badan, manggantungkannya di mobil atau rumah, atau mereka mengenakan cincin dengan berbagai macam batu permata, disertai kepercayaan tertentu, seperti untuk tolak bala’ atau untuk menghilangkannya.

Hal semacam ini, tak diragukan lagi sangat bertentangan dengan (perintah) tawakkal kepada Allah. Dan tidaklah hal itu menambah kepada manusia, selain kelemahan. Belum lagi ia termasuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan.

Berbagai jimat yang digantungkan, sebagian besar dari padanya termasuk syirik jaly (yang nyata). Demikian pula dengan minta pertolongan kepada sebagian jin atau setan, gambar-gambar yang tak bermakna, tulisan-tulisan yang tak berarti dan sebagainya. Sebagian tukang tenung (sulap) menulis ayat-ayat Al Qur’an dan mencampur-adukkannya dengan hal lain yang termasuk syirik. Bahkan sebagian mereka menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan barang yang najis atau dengan darah haid. Menggantungkan atau mengikatkan segala yang disebutkan di atas adalah haram. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam :

“Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik [HR Imam Ahmad :4/ 156 dan dalam silsilah hadits shahihah hadits No : 492].

Orang yang melakukan perbuatan tersebut, jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu bisa mendatangkan manfaat atau madharat (dengan sendirinya) selain Allah maka dia telah masuk dalam golongan pelaku syirik besar. Dan jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu merupakan sebab bagi datangnya manfaat, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, maka dia telah terjerumus pada perbutan syirik kecil, dan ini masuk dalam kategori syirkul asbab.

Sumber: http://muslimabipraya.wordpress.com/

Dosa Syirik

Yang dimaksud dengan dosa syirik itu tidak bisa diampuni adalah bila seseorang melakukan perbuatan syirik dan mati bersama dosa itu tanpa pernah bertaubat sebelumnya. Bedanya dengan dosa selain syirik adalah bahwa dosa itu bila terbawa sampai mati tanpa bertaubat sebelumnya, masih ada kemungkian diampuni Allah SWT. Misalnya dengan ditebus dengan amal-amal kebajikan yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT :

“…Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”.(QS. Hud : 114)

Atau orang tersebut di akhirat nanti mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW, sehingga dosa-dosanya diampuni dan yang bersangkutan tidak perlu diazab di neraka. Semua itu mungkin saja terjadi sehingga dikatakan bahwa dosa selain syirik akan diampuni di akhirat.

Namun bila dosa yang dibawa mati itu adalah dosa syirik, maka dosa itu tidak bisa ditebus atau diampuni di akhirat. Maka yang bersangkutan harus mendapatkan siksa yang nyata-nyata pedih. Itulah maksud bahwa dosa syirik itu tidak bisa diampuni, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. ( QS An Nisa 48 )

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”(QS. An-Nisa : 114)

Karena itu selama hayat masih di kandung badan, bersegeralah untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT, terutama yang terkait dengan dosa-dosa syirik.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133)

Siapa yang Menentukan Nama-nama Surah di Al-Quran?

Siapa yang menentukan nama-nama surah di Al-Qur’an, juga juz-juz-nya dan juga kenapa ada ain-ain-nya di tiap juz ?

Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an. Sebagian mengatakan bahwa urutan itu berdasarkan wahyu semata (tauqifi), sebagian lagi mengatakan ijma’ atau ijtihad para shahabat (taufiqi). Dan pendapat ketiga merupakan perpaduan antara kedua pendapat sebelumnya.

Sedangkan masalah juz-juznya memang ditetapkan kemudian, termasuk masalah ada huruf ‘ainnya. Semua itu ditulis setelah Islam mulai melebarkan sayap ke negeri-negeri yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga dibutuhkan teknik penulisan arab (Al-Qur’an) yang lebih dari apa yang ada sebelumnya.

Sedangkan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah urutan surat itu berdarkan wahyu atau bukan, silahkan simak rincian berikut ini :

1. Pendapat yang Mengatakan bahwa Urutan Surat Berdasarkan Ketetapan Rasulullah SAW

Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi SAW sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Al-Qur’an pada masa Nabi SAW telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada di tangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.

Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’, “Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.

Telah diriwayatkan melalui Ibn wahhab, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata, “Aku mendengar Rabbi’ah ditanya orang,” Mengapa surah Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah makki, sedang keduanya di turunkan di Madinah?’. Dia menjawab, ‘Kedua surah itu memang didahulukan dan Al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya, ‘Ini adalah sesatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”

Ibn Hisyar mengatakan, ‘”Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, “Letakkanlah ayat ini ditempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf.”

2. Pendapat yang Mengatakab bahwa Urutan Surat Berdasarkan Ijma’ Shahabat

Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Dasar dari pendapat itu adalah kenyataan bahwa para shahabat punya koleksi mushaf yang awalnya berbeda-beda urutan.

Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surah makki dan madani. Dalam mushaf Ibn Masu’d yang pertama ditulis adalah surah Al-Baqarah, Nisa’ dan Ali-’Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Nisa’ dan Ali-Imran.

Diriwayatkan Ibn Abbas berkata, “Aku bertanya kepada Usman, “Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk kategori masani dan Al-Bar’ah yang termasuk Mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamu pun meletakkannnya pada as-Sab’ut Tiwal (tujuh surah panjang)? Usman menjawab, ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan, ‘ Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu.” Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada as-Sab’ut Tiwal.”

3. Pendapat yang Memadukan bahwa Sebagian Ayat Ditetapkan dan Sebagian lagi Ijtihad

Pendapat lain adalah perpaduan antara keduanya. Mereka mengatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-’abut Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah.

Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan ali Imran”. Diriwayatkan pula, bahwa jika hendak pergi ketempat tidur, Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu’awwizatain.”

Ibn Hajar mengatakan, “Tertib sebagain surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat Tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as-Saqafi yang didalamnya antara lain termuat: Rasulullah berkata kepada kami, “Telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, “Bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an? Mereka menjawab, “Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas, tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf sampai kami khatam.”

Kata Ibn Hajaar, ” Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya, “Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”

Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur’an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur’an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf (logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.

Mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du’afa’. Di samping itu dalam hadis inipun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan, “Hadis itu tak ada asal mulanya” paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidaktertiban kedua surah tersebut.

Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.

Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan, “Alah telah menurunkan Qur’an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayatpun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi di mana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Al-Qur’an, seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan Al-Qur’an.”

Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan, “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah, “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (Al-Baqarah: 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.

As-Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan, “Al-Qur’an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara’ah, karena hadis Usman.”

Jihad

Apabila kita membicarakan tentang jihad, ramai orang beranggapan bahawa jihad ini adalah dengan mengangkat senjata atau sebagainya dan berjuang di medan perang. Memang tidak dapat di nafikan, perkataan jihad itu sendiri telah membawa pengertian yang melambangkan perjuangan seseorang muslim dalam menentang musuh Allah.

Namun jika dilihat di dalam konteks yang lebih luas, musuh Allah bukan sahaja berada di medan perang dan musuh Allah bukan sahaja dapat ditewaskan melalui pennggunaan senjata. Sebagai seorang muslim yang mencintakan kedamaian dan hidup di dalam negara yang aman makmur, perkataan berjuang di medan perang amatlah jauh daripada keinginan kita. Namun, sebagai muslim, haruslah kita ketahui dan yakin yang musuh Allah ada dimana-mana termasuk di dalam diri kita sendiri. Berjihad beerti kita berjuang dengan cara mengorbankan apa yang ada pada diri kita tanpa mengharapkan apa-apa balasan daripada makhluk, hanya mengharapkan balasan dari Allah.

Jihad yang paling utama yang dituntut di dalam Islam adalah jihad mementang hawa nafsu. Di dalam Islam, jihad menentang nafsu disebut Jihad Akhbar iaitu jihad yang paling besar. Nafsu merupakan musuh nombor satu manusia. Sekiranya kita berjaya di dalam pertarungan nafsu maka kita beroleh kemenangan mutlak di sisi Allah.

Sebagai manusia biasa, kita dikurniakan dengan hawa nafsu seperti yang telah kita sedia maklum bersahabat baik dengan hasutan syaitan. Sekiranya kita tidak berjihad untuk menentang nafsu ini maka akan terjerumuslah manusia kelembah dosa dan kehinaan. Setiap hari manusia akan dikelilingai oleh berbagai-bagai perasaan. Ada yang baik dan ada yang buruk. Perkara yang melibatkan keburukan adalah bermula daripada bisikan nafsu terhadap diri kita. Sebagai contoh, nafsu amarah, nafsu makan,nafsu seks dan sebagainya, sekiranya semua perasaan ini tidak dikawal, nescaya kita akan menjadi manusia yang menuruti nafsu tanpa berfikir. Perkara ini amatlah ditakuti. Sepertimana Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud “makanlah kamu sebelum kamu lapar dan berhentilah sebelum kenyang”, menerusi hadis ini, nyatalah Rasulullah s.a.w telah mengajak umatnya memerangi nafsu iaitu nafsu makan. Nafsu makan ini hanya dapat ditundukan melalui berpuasa. Dengan barpuasa, nescaya nafsu manusia yang sentiasa mengajak kepada keburukan akan dapat ditewaskan. Oleh itu kita hendaklah sentiasa mengawal diri dari kengkangan hawa nafsu dalam kehidupan seharian agar diberkati oleh Allah S.W.T.

Di samping itu, jihad yang dituntut daqlam kehidupan seharian seorang muslim adalah jihad menentang maksiat. Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud “ Sekiranya kamu melihat kemungkaran di hadapan kamu, hendaklah menegahnya dengan tangan, jika tidak mampu tegahlah ia dengan lidah, sekiranya tidak mampu tegahlah ia dengan hati,kerana itulah selemah-lemah iman.” Sebagai contohnya jika kita melihat sesuatu kemungkaran seperti perlakuan sumbang dan sebagainya, hendaklah kita menghalang kemungkaran itu dengan cara seperti yang disebutkan dalam hadis tadi.

Tujuan kita berjihad membanteras maksiat ini adalah untuk mengelakkan masalah sosial yang akan menyebabkan keruntuhan akhlak atau moral dalam sesebuah masyarakat. Sudah jelas bahawa berjihad menentang hawa nafsu ini merupakan jihad yang paling utama dan penting dalam kehidupan dalam kehidupan seorang muslim. Sebenarnya berjihad ini memerlukan pengorbanan kerana terpaksa bersusah payah dalam mencapai cita-cita dan menegakkan kebenaran seperti yang diperintahkan oleh Allah S.W.T.

Seterusnya kita lihat dari segi jihad yang lain iaitu Jihad Asghar.Jihad Asghar ini ialah jihad yang kecil iaitu menentang musuh yang nyata seperti peperangan menentang orang kafir yang menceroboh agama Islam dan memerangi orang-orang yang murtad. Dalam konteks ini, jihad Asghar dilakukan apabila kedudukan agama Islam itu berada dalam keadaan terancam. Contohnya pada zaman Rasulullah S.A.W, apabila kaum kafir Quraisy mengancam keselamatan agama Islam dan baginda Rasulullah sendiri, barulah langkah berjihad dilakukan.

Peperangan pada zaman Rasulullah seperti perang Badar, perang Tabuk, perang Ahzab dan sebagainya sebenarnya untuk mempertahankan kesucian dan keselamatan agama Islam,bukannya tradisi peperangan seperti yang digembar-gemburkan oleh orientalis barat. Sebagai orang muslim kita semestinya mengetahui, memahami, dan menghayati maksud sebenar jihad itu. Bukan hanya sekadar pandai berkata atau melaungkan perkataan jihad itu.

Jihad ini sebenarnya tidak tertumpu kepada menentang hawa nafsu dan musuh yang nyata sahaja. Jihad dari segi harta, pendidikan ,kewangan serta pembangunan Islam merupakan jihad-jihad yang dituntut dalam Islam. Contohnya jihad dari segi harta seperti bersedekah dengan mengorbankan harta sendiri yang menyumbang kearah pendidikan, pertahanan dan sebagainya. Seorang sahabat Rasulullah iaitu Rahman bin Auf yang merupakan hartawan pada masa itu sanggup mengorbankan sebahagian besar hartanya termasuk perniagaan dan ladang ternakannya semata-mata untuk membantu Rasulullah dalam mempertahankan agama Islam. Apabila kita bersedekah, hendaklah dengan rela dan ikhlas hati serta mengorbankan sesuatu yang kita sayang. Firman Allah dalam surah Al-Imran ayat 92 bermaksud : “ Kamu tidak akan mencapai kebaikan kecuali kamu belanjakan apa yang kamu sayang”.

Dalam memperkatakan tentang jihad ini, kita juga mesti mengetahui tentang sift-sifat yang perlu ada pada orang berjihad. Antara sift-sifat tersebut ialah ikhlas kepada Alah S.W.T., tawakal kepada Allah S.W.T, sabar menempuhi ujian pengorbanan dan tekun serta bersungguh-sungguh melakukan jihad. Oleh itu marilah kita mendidik diri kita supaya mempunyai ciri-ciri seperti ini. Berjihad ini merupakan suatu perbuatan yang sangat mulia di sisi Islam. Ibni Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah ;” Apakah amal yang paling dikasihi oleh Allah?.Jawab baginda :” Solat dalam waktunya.Kemudian ?.Kemudian jihad di jalan Allah.”.

Kesimpulannya,untuk mencapai darjat jihad yang sebenarnya adalah dengan pengorbanan yang membawa kepada hilangnya kepentingan dan hak untuk diri sendiri. Semangat jihad sepatutnya dipupuk dalam diri setiap individu muslim kerana mencapai kejayaan bukanlah mudah tetapi memerlukan pengorbanan. Besar kejayaan yang hendak dicapai, besar jugalah pengorbanan yang perlu dibuat. Sabar dan tabah itu sendiri memerlukan semangat jihad dan orang yang paling disukai oleh Allah S.W.T ialah orang yang paling tinggi jihadnya.

Hukum Seorang Muslim Menikahi Orang Kafir yang Tidak Memiliki Kitab

DEFENISI KAFIR

[1]. Secara Bahasa
Kafir (secara bahasa) artinya menutup, menghalangi dan menolak. Malam hari juga disebut “kafir”, karena ia menutupi segala sesuatu. Setiap sesuatu yang menutupi yang lain, berarti ia telah kafarahu (menutupinya). Al-Kafir (orang kafir) adalah az-zari’ (penanam), sebab ia menutup benih dengan tanah. Jadi al-kuffar (orang-orang kafir) adalah az-zurra’ (orang-orang yang menanam benih) [1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” [Al-Hadid : 20]

Makna Al-Kuffar di sini, yaitu para penanam (petani), sebab mereka menimbun benih, yakni mereka menutupnya dengan tanah. [2]

[2]. Secara Istilah
Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya setelah ia mengakui sangat sulit bagi kalangan ahli kalam (teolog) memberikan batasan makna kafir (orang kafir). Kafir adalah tidak mempercayai sedikitpun apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal hal itu telah diketahui secara nyata. [3]

Defenisi yang lain : Kafir adalah lawan kata iman yaitu mengingkari salah satu dari apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah sampai kepada kita dengan riwayat yang meyakinkan lagi pasti. [4]

HUKUM MENIKAHI WANITA MUSYRIK
Seorang muslim dilarang menikahi wanita-wanita musyrik [5]. Pendapat ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”[Al-Baqarah : 221]

Juga dengan ijma ulama.

Dalil tersebut sangat jelas menerangkan larangan menikahi atau mengawini wanita-wanita musyrik, baik wanita tersebut merdeka atau budak.

HUKUM MENIKAHI WANITA MAJUSI [6]
Seorang muslim dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi bukan dari golongan Ahli Kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Ahli Kitab adalah mereka yang beragama Yahudi maupun Nasrani. Kitab Taurat diturunkan kepada kaum Yahudi dan Nabi mereka adalah Musa Alaihissalam. Sedangkan kitab Injil diturunkan kepada kaum Nasrani, dan Nabi mereka adalah Isa bin Maryam Alaihissalam. Namun madzhab Zhahiriah membolehkan seorang muslim menikah dengan wanita Majusi dengan hujjah mereka termasuk golongan Ahli kitab. [7]

Abu Tsaur mengatakan : “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab” [8]

Alasan lain, karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu pernah menikahi wanita Majusi, dan karena mereka masih ditetapkan terkena jizyah (pajak), sehingga setatus mereka mirip dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani” [9]

Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama. Pasalnya, orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : (Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami” [Al-An’am : 156]

Seandainya orang-orang Majusi termasuk golongan Ahli Kitab, pasti akan disebutkan bahwa Ahli kitab terdiri dari tiga kelompok.

Adapun sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab” [10]

Ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tidak memiliki kitab. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari hadits tersebut adalah dalam rangka melindungi darah mereka dan masih ditetapkan terkena jizyah, bukan yang lainnya. Sedangkan mengenai riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu pernah menikahi wanita Majusi, maka riwayat ini tidak shahih dan Imam Ahmad telah mendha’ifkan (melemahkan) orang yang meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi. Abu Wa’il menyatakan : “(Orang yang meriwayatkan bahwa) beliau pernah menikahi wanita Yahudi itu lebih kuat daripada orang yang meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi”. Sementara Ibnu Sirin mengatakan : “Konon, istri Hudzaifah beragama Nasrani” [11]

Dengan diskusi (munaqasah) ini, maka jelaslah bagi kita bahwa yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa seorang muslim haram menikahi wanita Majusi.

HUKUM MENIKAHI WANITA SHABI’AH [12]
Para ulama –rahimahumullah- masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita Shabi’ah.

Letak perbedaan ini berdasarkan perbedaan madzhab mereka masing-masing. Di kalangan ulama ada yang mengkategorikan mereka termasuk golongan Ahli Kitab, sehingga dibolehkan menikahi mereka. Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Yusuf Asy-Syaibani (keduanya adalah sahabat Abu Hanifah, pent), berpendapat tidak boleh menikahi wanita Shabi’ah. Sebab, mereka adalah para penyembah berhala. Mereka menyembah bintang-bintang [13]. Pendapat ini juga dipegang oleh pengkiut madzhab Malikiyah. [14]

Adapun madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah (Hanbali), mereka memberikan perincian dalam masalah tersebut. Jika mereka sesuai dengan kaum Nasrani atau Yahudi (Ahli Kitab) dalam masalah pokok-pokok agama (usul), namun menyelisihi dalam masalah yang bersifat cabang (furu’ bukan masalah ushul), maka mereka termasuk golongan Ahli Kitab, sehingga boleh dinikahi. Sebaliknya, jika mereka menyelisihi Ahli Kitab dalam masalah pokok-pokok agama, maka mereka bukan termasuk golongan Ahli Kitab, sehingga mereka tidak boleh dinikahi” [15]

HUKUM MENIKAHI WANITA-WANITA PENYEMBAH BERHALA DAN YANG SERUPA
Para ulama telah sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh menikahi para penyembah berhala dan yang serupa dengan mereka dari golongan orang-orang kafir yang tidak memiliki kitab. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanan : 10]

Juga firman-Nya.

“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]

Di kalangan para ulama tidak ada perbedaan pendapat mengenai haramnya menikahi wanita-wanita mereka … Ketentuan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang menyatakan secara jelas (sharih) tentang keharamannya. [16]

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Mukhtashar Ash-Shihah : 572-573, terbitan Maktabah Al-Hilal, Beirut. Lihat pula Al-Mu’jam Al-Wasith II/791-792, Daar Ihya-u At-Turats Al-Arabi.
[2]. Lihat Fathu Al-Qadir oleh Asy-Syaukani V/175
[3]. Lihat At-Tafsir Al-Kabir oleh Ar-Razi II/39, terbitan Daaru Al-Kutub Al-Alamiin.
[4]. Al-Kufru wa Al-Mukaffarat, Ahmad Izzuddin Al-Bayanunii 6, terbitan Maktabah Al-Huda.
[5]. Badaai’ Ash-Shanaai’ oleh Al-Kasani II/271, Darul Kitab Al-Arabi. Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543. Takmilah Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab XVI/232. Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj III/187, Daar Ihya-u At-Turats Al-Arabi, Libanon. Syarh Muntaha Al-Iradaat III/36, Daar Al-Ifta Al-Mamlakah Al-Arabiyyah As-Su’udiyyah. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/472, Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah.
[6]. Majusi adalah orang-orang yang menyembah api.
[7]. Badaai’ Ash-Shanaai’ II/272, Syarh Fath Al-Qadir oleh Ibnul Hammam III/230, terbitan Al-Halabi, Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543, Takmilah Al-Mjmu XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/591
[8]. Tanwiru Al-Hawalik Syarh Ala Muwaththa’ Malik. Kitab Az-Zakat I/264 terbitan Daar An-Nadwah Al-Jadidah, Beirut.
[9]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/591
[10]. Tanwiru Al-Hawalik Syarh Ala Muwaththa’ Malik. Kitab Az-Zakat I/264 terbitan Daar An-Nadwah Al-Jadidah, Beirut.
[11]. Al-Mughni VI/592
[12]. Shabi’ah adalah sekelompok dari orang-orang Nasrani yang memang disebut demikian. Ada ulama yang berpendapat karena mereka dinisbatkan kepada Shabi’, paman Nabi Nuh Alaihissalam. Pendapat lain, karena mereka keluar dari agama yang satu dan masuk ke agama yang lain. Dahulu orang-orang kafir biasa menyebut para sahabat Radhiyallahu ‘anhum sebagai shabi’ah, karena mereka keluar dari agamanya dan masuk ke agama Islam. (Lihat Mughni Al-Muhtaj Syarhu Asy-Syaibani III/18). Ibnul Hammam berkata : “Mereka adalah sebuah kaum yang menentang agama Yahudi dan Nasrani, lalu menyembah bintang-bintang”. Dan disebutkan dalam Ash-Shihah : “Sesungguhnya mereka termasuk golongan Ahli Kitab” [Syarh Fath Al-Qadir III/223]

Ibnu Qudamah berkata : “Para ulama masih berbeda pendapat mengenai orang-orang shabi’ah. Diriwayatkan dari Ahmad bahwa mereka masih termasuk golongan Nasrani. Pada kesempatan yang lain beliau berkata : “saya telah mendengar kabar bahwa mereka adalah orang-orang yag memuliakan kesucian hari Sabtu, maka mereka termasuk orang-orang Yahudi”. Diriwayatkan dari Umar bahwa beliau pernah berkata : “Mereka adalah orang-orang yang memuliakan hari Sabtu”. Mujahid berkata : “Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan kaum Yahudi dan Nasrani”. Sedangkan Imam Syafi’i lebih cenderung diam dalam menentukan status mereka.

Pendapat yang benar adalah justru keluar dari semua pendapat di atas. Jika mereka sesuai dengan salah satu Ahli Kitab dalam hal siapa nabi mereka dan apa kitabnya, maka mereka masih satu golongan. Namun jika mereka menyelisihi dalam masalah tersebut, maka mereka bukan lagi termasuk Ahli Kitab. [Lihat Al-Mughni VIII/496-497]
[13]. Lihat Syarh Fath Al-Qadir III/232
[14]. Lihat Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, terbitan Daar Al-Baaz
[15]. Lihat Raudhah Ath-Thalibi wa Umdah Al-Muftin oleh An-Nawawi VII/139 dan Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/591
[16]. Lihat Syarh Fath Al-Qadir III/231, Bidayah Al-Mujtahid oleh Ibnu Rusyd II/44 terbitan Daar Al-Ma’rifah, Takmilah Al-Majmu XVI/232 dan Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi oleh Al-Anqari III/84 terbitan Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah.

Sumber: http://kumpay87.blogspot.com/

Sidratul Muntaha

Antara kelebihan Lailatul Qadar ialah malaikat yang berada di Sidratul Muntaha turun ke bumi dengan izin Allah. Sidratul bererti pokok bidara manakala Muntaha ialah sempadan iaitu sempadan sebelah atas langit, selepas langit yang ke tujuh. Semasa peristiwa Isra’ Mikraj, malaikat Jibril hanya boleh menghantar Rasulullah s.a.w. hingga setakat pokok bidara ini sahaja.

An-Najm [13] Dan demi sesungguhnya! (Nabi Muhammad) telah melihat (malaikat Jibril, dalam bentuk rupanya yang asal) sekali lagi, [14] Di sisi “Sidratul-Muntaha”; [15] Yang di sisinya terletak Syurga “Jannatul-Makwa”.

Sebelah atas langit (selepas langit ke tujuh) didiami oleh Malaikat khas, yang lebih kuat dan hanya turun di hari Kiamat. Mereka membawa neraca timbangan dan memagari serta mengepung manusia, binatang, jin. Sepertimana Allah berfirman:

Ar-Rahman [33] Wahai sekalian jin dan manusia! Kalau kamu dapat menembus keluar dari kawasan-kawasan langit dan bumi (untuk melarikan diri dari kekuasaan dan balasan Kami), maka cubalah kamu menembus keluar. Kamu tidak akan menembus keluar melainkan dengan satu kekuasaan (yang mengatasi kekuasaan Kami; masakan dapat)!

Asas-Asas Mazhab Syafie

Pertama: Mengikut Al-Qur'an dan As-Sunnah

Tidak syak lagi bahawasanya Imam As-Syafi'e terlalu kuat dalam berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kedua: Mengikut Kebenaran dan Dalil

Ini merupakan antara ciri-ciri keistimewaan mazhab Imam As-Syafi'e di mana tiada apa yang dapat memisahkannya daripada berusaha untuk berpegang dengan kebenaran. Beliau tidak mengikut amalan mana-mana penduduk sesuatu tempat dan sebagainya. Didapati bahawasanya ada sebahagian imam yang menjadikan amalan sesuatu penduduk sesuatu tempat adalah sebagai hujah sepertimana yang dilakukan oleh Imam Malik r.a. yang menjadikan amalan penduduk Madinah sebagai hujah dan tidak mengambil riwayat-riwayat daripada penduduk negeri lain.

Imam Abu Hanifah r.a. pula mengambil riwayat daripada ahli Iraq sahaja, dan tidak akan bercanggah pendapat dengan mereka. Tetapi,keterbukaan Imam As-Syafi'e dengan mengambil ilmu dari pelbagai sumber, dari mana-mana ulama' di serata dunia.

Ketiga: Mengambil Berat Tentang Perkataan Para Sahabat

Imam As-Syafi'e r.a. menganggap bahawasanya perkataan para sahabat r.a. yang bersepakat dalam sesuatu perkara sebagai hujah dalam mengambil hukum. Adapun jika para sahabat r.a. berselisih dalam sesuatu perkara, maka Imam As-Syafi'e mencari dalil-dalil untuk mentarjihkan (menguatkan) antara pendapat-pendapat para sahabat r.a. tersebut.

Imam As-Syafi'e berpendapat bahawasanya jika seorang sahabat r.a. memberi fatwa dalam sesuatu masalah dan fatwanya adalah satu-satunya perkataan yang wujud dalam masalah tersebut, tanpa ada nas-nas lain daripada Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka perkataan sahabat tersebut lebih utama dijadikan hujah daripada qiyas.

Adapun jika perkataan sahabat r.a. tersebut dalam masalah-masalah yang diberi keluasan untuk berijtihad padanya (masalah ijtihadiyah), maka perkataan sahabat r.a. tidaklah dianggap lebih utama daripada para mujtahidin yang lain, menurut Imam As-Syafi'e r.a..

Keempat: Berpegang dengan Kaedah Qiyas

Imam As-Syafi'e berpegang dengan manhaj yang sederhana berkenaan penggunaan kaedah qiyas. Beliau tidak terlalu bersikap keras sepertimana Imam Malik r.a. dan tidak juga bersikap terlalu terbuka dalam penggunaan qiyas seperti keterbukaan Imam Abu Hanifah r.a. dalam penggunaannya. Imam As-Syafi'e r.a. menganggap bahawasanya qiyas juga mempunyai kepentingan yang besar dalam perkembangan ilmu fiqh dan usul fiqh, lalu menjadikan qiyas dan ijtihad itu sendiri adalah satu makna yang sama.

Kelima: Mengambil kira Terhadap Asal bagi Sesuatu Perkara

Sesungguhnya, mazhab Imam As-Syafi'e dibina di atas asas-asas yang kukuh antaranya adalah asas yang kelima ini. Maka, asal bagi sesuatu perkara yang memberi manfaat, namun tidak ada nas mengenainya, maka hukumnya adalah mubah (boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan: harus).

Keenam: Al-Istishab

Istishab ialah: Menetapkan sesuatu perkara di zaman kedua sepertimana ianya ditetapkan pada zaman yang pertama. Iaitu, jika kita mengetahui suatu hukum terhadap sesuatu pada zaman pertama, lalu tidak terzahir sesuatu petunjuk yang menunjukkan hukum tersebut dihilangkan pada zaman kedua, maka pada zaman kedua itu juga turut kita hukumkan dengan hukum asal pada zaman pertama tersebut.

Contohnya: Asal hukum itu ialah, seseorang itu “terlepas (bara’ah) daripada sebarang tanggungan terhadap manusia lain” sehingga ada dalil yang menunjukkan bahawasanya dia sudah memikul tanggungjawab terhadap orang lain. Maka, asal "keterlepasan"nya daripada tanggungan terhadap manusia lain itu digunakan secara istishab dalam kes seperti contohnya: seseorang itu (si A) dituduh mempunyai hutang dengan seseorang yang lain (si B), namun tidak ada bukti menunjukkan bahawasanya dia (si A) pernah berhutang dengan orang (si B) tersebut.

Maka, dengan kaedah istishab ini, kita mengembalikan orang (si A) tersebut kepada hukum asalnya sebelum tuduhan tersebut dilakukan iaitu "keterlepasan daripada tanggungan terhadap manusia lain", maka dia (si A) tidak perlu membayar hutang tersebut kepada si B.

Ketujuh: Al-Istiqra'

Istiqra' ialah: Mengkaji atau meneliti (tatabbu’) perkara-perkara yang cabang (furu') dan hukum perkara-perkara cabang yang saling berkaitan tersebut kepada suatu perkara yang turut berkait rapat dengan perkara-perkara tersebut. Ia merupakan suatu proses meneliti pelbagai perkara cabang yang mempunyai persamaan dari sudut-sudut tertentu, yang membawa kepada hukum yang sama, lalu menjadikan hukum tersebut sebagai hukum yang menyeluruh terhadap cabang-cabang yang termasuk dalam masalah tersebut.

Contohnya: Hukum solat witir.

Kalau kita mengkaji (tatabbu’) keadaan Nabi s.a.w. khususnya dalam masalah solat, kita dapati suatu kaedah umum daripada perbuatan-perbuatan Nabi s.a.w. secara menyeluruh tersebut bahawasanya, Nabi s.a.w. tidak pernah menunaikan solat fardhu di atas kenderaan sewaktu bermusafir sama sekali.

Jika Rasulullah s.a.w. menunaikan sesuatu solat di atas kenderaan, maka daripada kaedah umum yang kita fahami sebelum tadi, menunjukkan bahawasanya solat yang ditunaikan oleh Nabi s.a.w. di atas kenderaan tersebut adalah solat sunat.

Oleh yang demikian, bilamana kita ingin mencari hukum tentang solat witir, lalu kita menemui bahawasanya Rasulullah s.a.w. pernah menunaikan solat witir di atas kenderaan, maka kita meletakkan hukum sunat bagi solat witir hasil daripada kita mengaitkannya dengan hukum menyeluruh yang kita sebut sebelum tadi dalam kaedah "Rasulullah s.a.w. hanya menunaikan solat sunat sahaja di atas kenderaan". Maka, kaedah umum yang membawa hukum menyeluruh ini memberi petunjuk kepada hukum solat witir yang dicari, dengan menjadikan solat witir sebagai satu cabang daripada kaedah tersebut, dalam masa yang sama berkongsi hukum yang sama dengan yang lain iaitu: hukum solat witir adalah sunat. Jadi, dapat difahami juga, sebarang nas-nas yang mana zahirnya seolah-oleh mewajibkan solat witir sebenarnya adalah sekadar suatu bentuk "menguatkan lagi galakan terhadap menunaikan solat witir itu sendiri.

Fasal: Kaedah Mengambil Bilangan paling Sedikit dalam Perkataan-perkataan Para Mujtahidin

Imam As-Syafi'e r.a. berpendapat bahawasanya kita perlu mengambil pendapat yang menyebutkan bilangan yang paling sedikit dalam sesuatu masalah yang melibatkan bilangan, takkala berlaku perselisihan pendapat dalam kalangan para ulama', kerana bilangan yang paling sedikit juga termasuk dalam bilangan yang paling banyak itu sendiri (contohnya: 1 itu termasuk dalam bilangan 10 itu sendiri).

Kaedah ini digunakan oleh Imam As-Syafi'e r.a. bilamana tiada lagi dalil dijumpai dalam masalah tersebut melainkan perkataan-perkataan ulama' tersebut.

Contohnya:

Hukum diyyah (bayaran pampasan yang melibatkan nyawa) kafir zimmi. Para ulama' berselisih pendapat tentang hukum diyyah kafir zimmi:

Pendapat Pertama: sepertiga daripada diyyah seorang muslim.
Pendapat Kedua: separuh daripada diyyah seorang muslim (mazhab Maliki)
Pendapat Ketiga: sama seperti diyyah seorang muslim (mazhab Hanafi)

Maka, Imam As-Syafi'e mengambil pendapat yang pertama iaitu sepertiga dariapda diyyah seorang muslim kerana ianya merupakan pendapat yang paling sedikit dalam masalah ini. Ini kerana, bilangan yang terrendah ini turut mengandungi perkataan yang mengatakan separuh diyyah muslim dan turut mengandungi perkataan seluruh diyyah muslim.

Sepertiga diyyah muslim terkandung dalam pendapat kedua iaitu separuh diyyah muslim dan terkandug juga dalam pendapat yang ketika iaitu semua bilangan diyyah muslim.

Wallahu a’lam…

(diambil dan diadaptasi daripada buku Al-Madkhal ila dirasah Al-Mazahib Al-Arba'ah karangan Mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum'ah)