TIAP kali memasuki Ramadhan kita merasakan “naluri beragama” (gharizatu at-tadayyun) kita meningkat, terasa kuat, seiring gambaran suasana Islami yang akan mengitari kita selama sebulan penuh.
Setiap Muslim sangat menantikan datangnya Ramadhan, meski hampir selalu saja terjadi kontroversi atau perbedaan pendapat soal kepastian awal Ramadhan.
Dipastikan, melihat suasana Ramadhan sebelumnya, suasana Islami akan terjadi di sekitar kita. Masjid-masjid dipenuhi jamaah taraweh, pengajian, dan acara-acara keislaman lainnya. Sungguh, keislaman kaum Muslim terasa dan terlihat pada bulan Ramadhan.
Kewajiban kita sebagai kaum Muslim sebenarnya cuma satu selama Ramadhan, yakni berpuasa –menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan suami-istri— sejak imsak atau jelang terbit fajar (masuk waktu shalat Subuh) hingga terbenam matahari (masuk waktu shalat Magrib).
Namun, mengingat Ramadhan merupakan bulan penuh berkah dan ampunan Allah SWT, pahala ibadah dilipatgandakan, dan Allah SWT menjanjikan “siapa berpuasa penuh keimanan dan keikhlasan akan diampuni dosanya yang telah lalu dan menemukan dirinya kembali suci pada akhir Ramadhan”, maka kita merasa tidak cukup, merasa tidak puas, dengan hanya “sekadar” berpuasa pada bulan Ramadhan itu. Kita ingin melakukan ibadah ekstra, seperti ibadah “khas” Ramadhan lainnya yang sifatnya sunah –tarawih—plus tadarus atau membaca Al-Quran, belajar atau mendalami Islam, mengikuti ceramah tarawih, ceramah Subuh, bersedekah, dan sebagainya.
Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, yaitu malam tanggal-tanggal ganjil (21, 23, 25, 27, 29), kita “berburu” menemukan satu malam “khoirun min alfi syahrin”, lebih baik dari seribu bulan, yakni Lailatul Qodar (Malam Penentuan). Ibadah pada malam itu bernilai seribu bulan ibadah! Subhanallah. Rasulullah Saw pun mengajarkan dan memberi teladan i’tikaf, berdiam diri di masjid untuk khusyu’ beribadah kepada Allah, demi menemukan Lailatul Qodar.
“Carilah Lailatul Qodar pada malam-malam yang ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan” (HR. Bukhari).
RAMADHAN memang bulan istimewa. Ramadhan juga bulan kemenangan umat Islam. Sejarah Islam menunjukkan, mayoritas kemenangan umat Islam dalam sejumlah peperangan dan medan dakwah, terjadi pada bulan Ramadhan –mulai dari Perang Badar hingga Perang Oktober Arab-Israel 1973. Faktor utamanya, karena Allah SWT “turun tangan” menolong kaum Muslimin untuk mengatasi berbagai rintangan dakwah dan jihad, disebabkan kedekatan kaum Muslimin dengan-Nya selama Ramadhan.
Keistimewan bulan Ramadhan, jika kita rinci, antara lain:
Bulan Diturunkan Al-Quran. “Bulan Ramadhan, bulan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi sekalian manusia dan membawa keterangan yang menjelaskan petunjuk dan perbedaan antara yang benar dengan yang salah” (QS. Al-Baqarah: 185).
Pintu Syurga Terbuka Luas. “Apabila datang bulan Ramadan, pintu-pintu syurga akan dibuka” (HR. Bukhari).
Pintu Rahmat Terbuka Luas. “Apabila tiba bulan Ramadhan, maka dibuka pintu-pintu rahmat” (HR. Muslim).
Pintu Langit Terbuka Luas. Amal ibadah, utamanya puasa, langsung sampai kepada Allah SWT. “Bila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu langit dibuka” (HR. Bukhari).
Pintu-Pintu Neraka Tertutup Rapat. “Apabila masuk bulan Ramadan, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka jahanam ditutup” (HR. Bukhari).
Setan dan Jin Dirantai. “Bila tiba malam pertama bulan Ramadan, setan-setan dibelenggu juga jin yang derhaka” (HR. Tirmizi). Maka, jika ada manusia yang tetap saja melakukan maksiat atau kejahatan pada bulan Ramadhan, semata-mata karena akhlak atau perangainya yang busuk dan menjadi budak nafsu.
SATU hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu soal pembatal puasa. Secara fiqih, puasa batal karena makan, minum, berhubungan badan, muncul niat berbuka, dan muntah yang disengaja. Namun, puasa juga bisa batal pahalanya jika kita tidak menahan diri dari perbuatan buruk, seperti bergunjing, menyakiti orang, berkata dusata, keji, dan cabul, dan sebagainya.
“Puasa bukanlah sekadar menahan dari makan dan minum” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: “Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat. “
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Bukhari).
”Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga” (HR Ibnu Hibban).
“Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
“Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa. Maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Nasa’i, Imam Ahmad).
Wallahu a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan