“Hakim ada tiga; dua di antara mereka masuk neraka, sedangkan satu diantara mereka masuk syurga. iaitu seorang lelaki yang mengetahui Al Haq, lalu ia memutuskan perkara dengannya ( al haq), maka ia masuk syurga. Adapun lelaki yang mengetahui Al Haq, tapi ia tidak memutuskan perkara dengannya, maka ia masuk neraka. Sedangkan seseorang yang tidak mengetahui al haq lalu ia memutuskan perkara manusia dengan kebodohannya maka ia juga masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud, At Thawawi)
Kehakiman adalah institusi yang mulia dan juga penuh dengan risiko. Mulia kerana ia bertujuan mewujudkan ketenteraman dan keadilan di dalam masyarakat. Berisiko sebab di dunia ia akan berhadapan dengan mereka yang tidak berpuas hati dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.
Hakim Tidak Bermoral
Sebagaimana profesion lain yang sentiasa terdedah kepada manusia untuk berbuat jahat, maka tidak terkecuali juga profesion kehakiman, sebuah institusi yang dihormati dan dimuliakan sebagai tempat dimana rakyat mencari kebenaran dan keadilan.
Bahkan kejahatan yang dilakukan oleh seorang hakim, dapat mendatangkan kemudharatan yang jauh lebih besar. Ini adalah lantaran di tangannya sesuatu kes dapat diselesaikan. Di tangannya juga kebenaran adalah benar dan yang salah menjadi salah atau sebaliknya yang benar jadi salah dan yang salah seolah-olah menjadi seperti benar.
Rasulullah (SAW) mengingatkan kita bahaya hakim yang nakal. Melalui hadis di atas, Rasulullah SAW menjelaskan adanya dua kelompok hakim yang merbahaya dan satu hakim yang benar. Dua kolompok hakim yang diancam dihumban ke dalam neraka :
Pertama; Hakim yang mengetahui tentang mana yang benar dan mana yang salah, tetapi ia memberi keputusan tidak sesuai dengan kebenaran.
Kedua; Hakim yang tidak mengetahui mana pihak yang benar dan yang salah kemudian memberi keputusan atas kejahilannya itu.
Dari keterangan hadis ini dapat juga difahami bahawa untuk menjadi seorang hakim bukanlah suatu yang mudah, ia penuh dengan risiko dan membebankan. Seorang hakim yang tidak mampu menunjukkan performance-nya secara baik dan profesional akan mendapatkan konsekuensi logisnya, sehingga tidak mengherankan jika Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim, meski kapasiti dan kelayakannya sangat hebat untuk menduduki jabatan tersebut.
Hakim yang Lurus
Lain dengan kedudukan kedua hakim tadi, hakim yang berikutnya adalah kategori hakim penyelamat. Keadaan hakim ini adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran, dan ia pun memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu. Keadilan, bagi hakim model seperti ini sangat di junjung tinggi.
Membela orang tertindas adalah prinsipnya. Ia tidak segan bertindak terhadap kezaliman, meski orang itu berkedudukan atau tinggi pangkatnya.
Hakim yang sedemikian inilah yang bisa bekerja dengan efektif, lantaran dalam dirinya tidak terdapat perilaku jahat dan curang. Jalan yang ditempuh menuju kariernya juga tidak dibangunkan dengan sifat yang tidak baik.
Walhasil, ia tidak membebankan dirinya hanya bebannya ialah apabila keadilan, dengan segala sudut pandang dan dimensinya itu tidak dapat ditegakkan. Dalam jiwanya, kebenaran dan keadilan mesti dijunjung tinggi dalam setiap ketetapan keputusannya.
Melihat kategori hakim yang pelbagai ini, maka Rasulullah SAW memberi peringatan seperti dalam hadis tadi. Selain itu, baginda juga mengingatkan pada mereka yang memegang profesyen sebagai hakim agar sentiasa berwaspada.
Ini adalah lantaran profesyen sebagai hakim adalah pembuat keputusan yang pasti akan berlaku antara sebagai menyelamatkan atau yang akan menghancurkan seseorang.
Rasulullah SAW bersabda : “Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api, sehingga ia menuju syurga atau neraka.” (Riwayat Abu Nu’aim dan ad Dailami).
Bahkan bukan sekadar sebuah penghormatan ketika seseorang diamanah sebagai hakim melainkan harus diiringi dengan kewaspadaan yang tinggi.
Rasulullah SAW mengingatkan: “ Barangsiapa diangkat menjadi seorang hakim, maka ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau.” (Riwayat Abu Dawud).
Terminologi Islam
Hakim dalam istilah Islam merupakan sumber hukum iaitu Allah (SWT). Hal ini jelas kelihatan dalam terminology “hukum” yang dikemukakan oleh kalangan ushuliyyin, iaitu khitab (titah) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf.
Terminologi ini menunjukkan bahawa sumber hukum tersebut adalah Allah SWT. Oleh yang demikian Allah SWT-lah yang dinamakan sebagai hakim yang sebenarnya dalam Islam.
Dalam pengertian lain, hakim disinonimkan dengan kata al qadhi. Keduanya memiliki persamaan makna atau dikatakan juga sebagai pelaksana undang-undang atau hukum di dunia Islam.
Untuk itu hakim dikatakan sebagai “yang menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapkan kepadanya baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun yang berkaitan dengan pribadi hamba secara individual.”
Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah SWT mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai risiko yang berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat atau setidaknya dapat meminimakan sehingga ketentraman dalam suatu komuniti dapat direalisasikan.
Para intelektual hukum Islam telah berijtihad menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menduduki jabatan sebagai hakim, iaitu laki-laki, baligh, berakal, merdeka, Islam, adil, tidak rusak pendengaran dan penglihatannya.
Al Shan’ani menambahkan, seorang hakim harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Qur’an dan seluk beluk keilmuannya, sunnah, ijma’ ulama salaf, ilmu ketatabahasaan, dan qiyas.
Selain itu, hendaknya mereka memiliki moral dan intelektual yang hebat. Secara ilustratif, aspek moral dapat diurai antara lain, seorang hakim hendaklah seorang Muslim yang adil, takwa, jujur, bijaksana, berwibawa, dan berbudi luhur.
Aspek intelektual seorang hakim sangat diharapkan karena ia dituntut terutama sekali dalam mengambil langkah-langkah ijtihad.
Khatimah
Dari huraian di atas, jelaslah bahawa untuk menjadi seorang hakim tidaklah mudah. Seorang hakim harus memiliki moraliti yang tinggi dan memiliki tanggung jawab intelektual dalam menanggung beban tugas mulianya yang sarat dengan risiko yang berimplikasi di dunia maupun akhirat.
Jika seorang hakim memiliki intelektualiti dan moraliti yang tinggi, maka ia akan menyedari bahwa tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara semata, tetapi memiliki tanggung jawab moral sebagai tugas keagamaan yang di dalamnya terdapat masalah pahala dan dosa.
Jika hal ini dapat direalisasikan, maka tindakan “pelecehan hukum” akan dapat dikurangi dan dicegah. Sebaliknya, upaya penegakkan semangat hukum akan dapat diwujudkan.
Wallahu’alam
Sumber: http://pura-cendana.blogspot.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan