Menurut konsepsi Islam, luar biasa sejarah manusia. Menurut Islam, manusia bukan sekadar “homo erectus-berkaki dua” yang dapat bicara dan berkuku lebar. Dari sudut pandang Al-Qur’an, manusia juga terlalu dalam dan misterius untuk didefinisikan dengan cara sederhana. Al-Qur’an, di samping menyanjung, juga memandang rendah manusia. Al-Qur’an sangat memuji manusia, dan juga sangat memperoloknya. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang lebih unggul daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan bahwa manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang buas. Al-Qur’an berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan dunia dan memperoleh jasa para malaikat, namun manusia juga sering kali terpuruk. Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang menentukan nasibnya. Baiklah, kita awali dengan arti positif manusia sepeiti yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Sisi Positif Manusia
1. Manusia adalah wakil (khalifah) Allah SWT di muka bumi.
Ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia, Allah SWT memberitahu para malaikat-Nya perihal maksud-Nya:
Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orangyang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucihan Engkau? Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa di muka bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al-An’âm: 165)
2. Di antara seluruh ciptaan, manusia memiliki kemampuan yang paling tinggi untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu:
Dan Dia mengajarkan hepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!” Mereka menjawab: “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahulah mereka nama benda-benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. al-Baqarah: 31-33)
3. Fitrah manusia itu sedemikian rupa sehingga secara intuisi manusia tahu bahwa hanya ada satu Allah SWT. Kalau manusia tidak percaya dan ragu, maka hal itu abnormal dan merupakan penyimpangan dari fitrahnya:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. al-A’râf: 172) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. ar-Rûm: 30)
4. Selain unsur-unsur material yang ada dalam materi non-organis, tumbuhan dan binatang, dalam fitrah manusia ada satu unsur ilahiah dan malaikat juga.
Manusia adalah perpaduan antara yang natural dan yang ekstra-natural, yang material dan yang non-material, yang jasadi dan yang rohani:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia dptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan he dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya. (QS. as-Sajdah: 7-9)
5. Penciptaan manusia dilakukan dengan perhitungan yang matang, bukan kebetulan. Manusia adalah makhluk pilihan:
Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 122)
Kepribadian manusia itu independen dan merdeka. Manusia adalah khalifah (wakil) yang diangkat Allah SWT dan memiliki misi serta tanggung jawab. Manusia dituntut untuk memperbaiki bumi dengan upaya dan prakarsanya, dan dituntut untuk memilih kesejahteraan atau kesengsaraan. Al-Qur’an memfirmankan:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 2-3)
6. Manusia memiliki martabat dan kemuliaan. Allah SWT telah menjadikan manusia unggul atas banyak makhluk-Nya. Manusia baru dapat merasakan bagaimana Sesungguhnya dirinya itu kalau mewujudkan martabat dan kemuliaannya serta memandang dirinya tak pantas diperbudak dan tak layak berbuat
buruk:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. al-Isrâ’: 70)
7. Manusia mendapat anugerah berupa cita rasa wawasan moral. Manusia tahu mana yang baik dan mana yang buruk dengan menggunakan ilham alamiah:
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepadajiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams: 7-8)
8. Manusia tidak akan pernah cukup, tenang, atau puas dengan apa pun, kecuali kalau dia mengingat Allah SWT. Hasratnya tak ada ujungnya. Manusia cepat jenuh dengan apa pun yang didapatnya. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT sajalah manusia baru dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya:
Hanya dengan mengingat Allah sajalah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’d: 28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, makapasti kamu akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqâq: 6)
9. Segala yang baik di bumi ini telah diciptakan untuk manusia. Al-Qur’an memfirmankan:
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqarah: 29)
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. (QS. al-Jâtsiyah: 13)
Karena itu manusia mempunyai hak untuk memanfaatkannya secara halal.
10. Manusia telah diciptakan untuk beribadah kepada Tuhannya saja dan untuk menerima perintah dari-Nya. Karena itu manusia berkewajiban menaati perintah Allah SWT:
Dan Aku tidak mendptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adz-Dzâriyât: 56)
11. Manusia tak mungkin ingat siapa dirinya, kecuali kalau dia beribadah dan ingat kepada Tuhannya. Jika dia lupa Tuhannya, berarti dia lupa dirinya, dan berarti dia tak tahu siapa dirinya, untuk apa dirinya diciptakan, apa kewajibannya dan hendak ke mana dia. Al-Qur’an memfirmankan:
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. (QS. al-Hasyr: 19)
12. Ketika manusia meninggal dunia, dan saat itu tirai jasmani yang menutupi roh atau jiwanya tersingkapkan, maka dia akan melihat dengan jelas banyak realitas yang sekarang ini gaib. Al-Qur’an memfirmankan:
Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka pengtihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qâf: 22)
13. Bukan keuntungan materi saja yang diupayakan untuk dicapai oleh manusia. Memenuhi kebutuhan hidup akan materi bukanlah satu-satunya motivasi manusia. Manusia sering melakukan sesuatu untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Mungkin saja semua upayanya hanyalah untuk mendapatkan rida Penciptanya. Al-Qur’an memfirmankan:
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. (QS. al-Fajr: 27-28) Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki maupun perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bogus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. at-Taubah: 72)
Karena itu, dari sudut pandang Al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang dipilih Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Manusia adalah makhluk setengah malaikat dan setengah materi. Secara naluriah manusia sadar akan Allah SWT. Manusia merdeka, memegang amanat Allah SWT, bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan atas dunia. Manusia mengendalikan alam, bumi dan langit. Manusia bisa bersemangat karena kebaikan atau karena kejahatan. Keberadaan manusia diawali dengan kelemahan, kemudian berangsur-angsur dia jadi kuat dan sempuma. Yang dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya hanyalah ingat kepada Allah SWT. Kapasitas intelektual dan praktisnya tak ada batasnya. Martabat dan kemuliaan sudah menjadi sifat manusia. Sering kali tak ada aspek material dalam motivasi manusia. Manusia telah diberi hak untuk memanfaatkan secara halal anugerah alam ini, Namun manusia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Tuhannya.
Sisi Negatif Manusia
Pada saat yang sama Al-Qur’an sangat mencela dan mengecam manusia. Al-Qur’an memfirmankan:
Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. al-Hajj: 66)
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-’Alaq: 6-7)
Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. al-Isrâ’: 11)
Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat) seakan-akan dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. Yunus: 12) Dan adalah manusia itu sangat kikir. (QS. al-Isrâ’: 100)
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS. al-Kahfi: 54)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan, dia amat kikir. (QS. al-Ma’ârij: 19-21)
Apakah Manusia pada Dasarnya Baik atau Buruk?
Dari semua ini, apa yang dapat kita simpulkan? Apakah manusia, dari sudut pandang Al-Qur’an, baik dan buruk sekaligus, dan bukan saja begitu namun justru sangat baik dan sekaligus sangat buruk. Apakah manusia berkarakter ganda? Apakah separo dari dirinya terang, dan separo lainnya gelap? Mengapa Al-Qur’an, di satu pihak, begitu memuji manusia, dan di pihak lain begitu mencelanya?
Faktanya adalah Al-Qur’an memuji dan mencela manusia, bukan karena manusia adalah makhluk berkarakter ganda di mana karakter yang satu terpuji sedangkan karakter yang satunya lagi tercela. Al-Qur’an berpandangan bahwa secara potensial manusia memiliki seluruh poin positif, dan poin positif ini harus diwujudkannya. Manusialah yang harus membangun dirinya. Syarat utama yang harus dimiliki agar manusia benar-benar berhasil mewujudkan kualitas-kualitas positif yang secara potensial dimilikinya itu adalah imannya. Iman melahirkan ketakwaan, amal saleh dan upaya sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. Karena imanlah maka ilmu menjadi alat yang bermanfaat, alih-alih menjadi alat untuk memenuhi hasrat keji.
Karena itu khalifah Allah SWT adalah sebenar-benar manusia. Manusia seperti inilah yang disujudi para malaikat. Segalanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki segenap kebajikan manusiawi, yaitu manusia plus iman, bukan manusia minus iman. Manusia minus iman, maka dia cacat, tidak baik dan rusak. Manusia seperti ini serakah, haus darah, kikir dan bakhil. Dia kufur dan lebih buruk ketimbang binatang buas.
Ada ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan manusia seperti apa yang terpuji dan manusia seperti apa yang tercela. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman adalah bukan manusia sejati. Manusia yang mengimani Realitas yang tunggal dan merasa tenteram dan puas dengan mengimani-Nya dan mengingat-Nya, maka dia memiliki segenap kualitas yang unggul. Namun jika seseorang tidak mengimani Realitas itu (Allah), maka dia laksana pohon yang putus hubungan dengan akar-akarnya. Sebagai contoh, kami kutipkan di sini dua ayat:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-’Ashr: 1-3)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan darijin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A’râf: 179)
Makhluk Multidimensi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kendati manusia memiliki banyak kesamaan dengan makhluk hidup lainnya, namun manusia beda sekali dengan mereka. Manusia adalah makhluk material maupun spiritual. Hal-hal yang benar-benar membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya membentuk dimensi-dimensi baru dalam diri manusia. Wilayah perbedaannya ada tiga: (1) wilayah penemuan (pengenalan) diri dan dunia; (2) wilayah kecenderungan-kecenderungan yang mempengaruhi pikiran manusia; (3) wilayah bagaimana manusia dipengaruhi oleh kecenderungan alaminya dan cara dia menyeleksi kecenderungan itu.
Sejauh menyangkut pengenalan akan diri dan akan dunia, binatang mengenal dunia melalui inderanya. Kualitas (kemampuan) ini dimiliki manusia maupun binatang. Dalam hal ini sebagian binatang bahkan lebih tajam inderanya dibanding indera manusia. Namun informasi yang dipasok indera kepada binatang maupun manusia bersifat dangkal dan luarnya saja. Indera tak dapat mengetahui karakter segala sesuatu, juga tak dapat mengetahui hubungan logis segala sesuatu itu.
Selain indera, manusia juga memiliki kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk memahami dirinya dan dunia. Kekuatan misterius ini, yaitu kekuatan untuk memahami ini, tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Dengan kekuatan memahami ini, manusia dapat mengetahui hukum umum alam, dan dengan pengetahuan ini manusia dapat mengendalikan alam dan membuat alam melayani dirinya.
Dalam pembahasan terdahulu disebutkan pengetahuan seperti ini, suatu pengetahuan yang hanya dimiliki manusia, dan juga telah ditunjukkan bahwa mekanisme pemahaman intelektual merupakan salah satu mekanisme paling kompleks dan eksistensi manusia. Kalau mekanisme ini bekerja dengan benar, maka terbuka jalan yang luar biasa bagi manusia untuk mengenal dirinya. Melalui jalan ini manusia dapat mengetahui banyak realitas yang tak dapat diketahuinya melalui inderanya. Melalui kekuatan misterius ini, suatu kekuatan yang hanya dimiliki manusia, manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang tak terjangkau inderanya, khususnya pengetahuan filosofis tentang Allah SWT.
Sejauh menyangkut wilayah kecenderungan, manusia, seperti binatang lainnya, juga dipengaruhi dorongan material dan alamiah. Kecenderungannya untuk makan, tidur, bersetubuh, beristirahat dan sebagainya membuat materi dan alam menjadi perhatian manusia. Namun ini bukanlah satu-satunya kecenderungan atau dorongan yang ada pada diri manusia. Yang juga menjadi perhatian manusia adalah banyak hal lain yang sifatnya bukan material, yaitu hal-hal yang tak ada ukuran dan bobotnya, hal-hal yang tak dapat diukur dengan ukuran material. Kecenderungan dan dorongan spiritual yang sejauh ini teridentifikasi dan diterima adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan Informasi
Manusia tidak menghendaki pengetahuan yang hanya tentang alam saja dan yang hanya bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan materialnya saja. Dalam diri manusia ada naluri untuk mengetahui kebenaran. Manusia menginginkan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan menyukainya. Di samping sebagai sarana untuk dapat hidup lebih enak dan untuk melaksanakan tanggung jawab dengan lebih baik, pengetahuan seperti itu diperlukan sekali. Sejauh menyangkut kehidupan manusia, tak ada bedanya apakah manusia tahu atau tidak tahu misteri-misteri dari apa yang ada di luar galaksi sana, namun manusia tetap lebih suka untuk mengetahui misteri-misteri itu. Karena sudah menjadi fitrahnya, manusia membenci kebodohan, dan tertarik untuk mencari pengetahuan. Karena itu pengetahuan merupakan dimensi intelektual dalam eksistensi manusia.
2. Kebajikan Moral
Manusia, dalam melakukan perbuatan tertentu, tujuannya bukanlah untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut, atau bukan pula untuk mencegah terjadinya kerugian, namun semata-mata karena adanya dampak sentimen tertentu yang disebut sentimen moral. Perbuatan itu dilakukannya karena dia percaya bahwa rasa kebajikannya menuntutnya untuk melakukan perbuatan itu. Misal saja seseorang terdampar di hutan belantara. Dia tak punya makanan, dan putus asa karena dia tahu tak ada yang dapat membantunya. Dia terancam bahaya kematian setiap saat. Sementara itu datang orang lain. Orang lain itu membantunya dan menyelamatkannya dari kematian yang kelihatannya segera bakal terjadi. Kemudian kedua orang ini berpisah, dan satu dengan yang lain tak bertemu. Setelah bertahun-tahun orang yang pernah putus asa itu bertemu orang yang pernah menyelamatkannya. Dan kini sang penyelamat itu kondisinya mengenaskan. Dia ingat sang juru selamat ini pernah menyelamatkan nyawanya. Dalam keadaan seperti ini, apakah had nurani orang ini tidak akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan tertentu? Apakah had nurani tidak akan mengatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan juga? Apakah had nurani tidak akan mengatakan kepadanya bahwa dia berkewajiban memperlihatkan rasa terima kasih kepada orang yang pernah berbuat baik kepadanya? Kami kira jawabannya adalah bahwa had nurani pasti akan berkata positif.
Kalau orang ini segera membantu orang itu, apa yang akan dikatakan had nurani orang lain? Kalau dia tetap tak peduli dan sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi, apa kata hati nurani orang lain?
Tentu saja, dalam kasus pertama, hati nurani orang lain akan menghargai perbuatannya dan akan memujinya. Dan dalam kasus kedua, hati nurani orang lain akan menyalahkan dan mencelanya. Adalah hati nurani moral manusia yang mengatakan:
Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan pula. (QS. ar-Rahmân: 60)
Karena itu barangsiapa menghendaki kebaikan dibalas dengan kebaikan, maka dia terpuji, dan barangsiapa tak peduli dengan kebaikan yang telah diterimanya, maka dia tercela. Perbuatan yang dilakukan karena hati nurani moral itu disebut perbuatan kebajikan moral.
Kebajikan moral merupakan ukuran untuk menilai banyak perbuatan manusia. Dengan kata lain, manusia melakukan banyak hal hanya karena nilai moralnya tanpa mempertimbangkan segi materialnya. Ini juga merupakan salah satu sifat manusia dan salah satu dimensi spiritualnya. Makhluk hidup lainnya tak memiliki ukuran seperti itu untuk menilai perbuatannya. Kebajikan moral dan nilai moral tak ada artinya bagi binatang.
3. Keindahan
Manusia memiliki dimensi mental yang lain. Yaitu rasa tertariknya kepada keindahan dan apresiasinya terhadap keindahan. Rasa estetisnya ini penting perannya dalam segenap bidang kehidupan. Manusia mengenakan pakaian untuk melindungi diri dari sengatan panasnya musim panas dan dinginnya musim dingin. Namun manusia juga memandang penting keindahan warna dan jahitan pakaiannya. Manusia membangun rumah untuk tempat tinggal. Namun manusia lebih memperhatikan keindahan rumahnya ketimbang yang lainnya. Dia memperhatikan prinsip-prinsip estetis dalam memilih meja makan dan barang tembikar dan bahkan dalam mempersiapkan makanan di meja makan. Manusia suka kalau penampilannya bagus, pakaiannya bagus, namanya bagus, tulisan tangannya bagus, kota dan jalanjalan kotanya bagus, dan semua pemandangan di depan matanya bagus. Pendek kata, manusia ingin segenap hidupnya dikelilingi kebaikan dan keindahan.
Bagi binatang, tak ada masalah keindahan. Yang penting bagi binatang adalah makanannya, bukan keindahan makanannya. Binatang tak peduli dengan pelana yang bagus, pemandangan yang bagus, tempat tinggal yang bagus dan sebagainya.
4. Memuja dan Menyembah
Memuja dan menyembah merupakan salah satu perwujudan tertua dan paling mantap dari jiwa manusia dan salah satu dimensi terpenting dari eksistensi manusia. Kalau kita kaji antropologi, kita akan tahu bahwa di mana dan kapan pun manusia ada, di situ ada memuja dan menyembah. Yang beda hanyalah bentuk penyembahan dan Tuhan yang disembah. Bentuk penyembahan juga beragam, mulai dari tarian dan gerakan bersama yang berirama yang disertai tata kebaktian dan bacaan, sampai bentuk penyembahan yang paling tinggi, yaitu menghambakan diri, dan bacaan yang paling maju. Sembahannya beragam, mulai dari kayu dan batu, hingga Wujud abadi yang wajib ada, Wujud yang bebas dari segala bentuk batasan ruang dan waktu.
Menyembah (ibadah) bukanlah rekayasa para nabi. Para nabi hanya mengajarkan cara beribadah yang benar. Para nabi juga mencegah dan melarang penyembahan kepada wujud Iain selain Allah SWT. Menurut ajaran agama yang tak terbantahkan, dan menurut pandangan yang dikemukakan sebagian pakar sejarah seperti Max Mueller, manusia purba adalah manusia tauhid, mereka menyembah satu Tuhan. Menyembah berhala, bulan, bintang atau manusia merupakan penyimpangan yang terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, bukanlah pada awalnya manusia menyembah berhala, menyembah manusia atau makhluk lain, dan berangsur-angsur karena perkembangan budaya lalu manusia menyembah Allah. Menyembah yang sering kali disebut dalam pengertian agama, pada umumnya ada pada kebanyakan orang.
Sudah dikutipkan sebelumnya perkataan Fromme yang berbunyi, “Manusia ada yang menyembah makhluk hidup, pohon, patung emas atau patung batu, Tuhan yang gaib, orang suci atau setan. Ada yang menyembah leluhurnya, bangsanya, kelasnya, kelompoknya, uang dan kesejahteraan. Manusia ada yang menyadari bahwa keyakinan agamanya beda dengan keyakinan non-agamanya, atau justru manusia beranggapan tak beragama. Pertanyaannya bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, tetapi pertanyaannya adalah apa agamanya?”
William James, seperti dikutip Dr. Iqbal, mengatakan:
“Dorongan untuk beribadah merupakan konsekuensi wajib dari fakta bahwa karena bawah-sadar diri empiris manusia adalah diri sosial, maka diri sosial ini akan menemukan “sahabat luar biasa”-nya pada dunia ideal. Kebanyakan orang, baik terus-menerus maupun terkadang, menyebut-nyebut “sahabat luar biasa” ini. Orang buangan paling bersahaja di muka bumi ini pun baru akan merasa riil dan absah kalau dia memiliki pengakuan tinggi seperti ini.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 89)
Profesor William James, mengenai universalitas pengertian seperti ini pada semua orang, mengatakan:
“Manusia barangkali berbeda sekali dalam sejauh mana mereka dibayangi perasaan bahwa ada pengawas ideal. Perasaan seperti ini merupakan bagian yang jauh lebih penting dari kesadaran sebagian orang, sedangkan pada sebagian orang lainnya kurang penting. Orang-orang yang sangat kuat perasaan seperti ininya, barangkali adalah orang-orang yang sangat religius. Namun saya yakin bahwa bahkan orang-orang yang mengaku tidak memiliki perasaan seperti ini, sebenarnya mereka tengah menipu diri mereka sendiri, dan sesungguhnya sedikit banyak mereka memiliki perasaan seperti ini.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)
Penciptaan pahlawan-pahlawan fiktif dari kalangan atlet, cendikiawan atau ulama terjadi karena dalam diri manusia ada nurani pemuliaan. Nurani ini menginginkan adanya wujud yang terpuji dan menawan hati, dan ingin memujinya sedemikian rupa sehingga wujud tersebut jadi dialami.
Pujian berlebihan manusia modern untuk pahlawan bangsa atau kelompoknya, dan pujiannya untuk kelompok, doktrin, ideologi, bendera, kampung halamannya, dan kesiapannya untuk bekorban demi semua ini, terjadi karena perasaan atau nurani seperti ini juga. Nurani ingin memuji merupakan hasrat naluriah untuk menyembah wujud yang luar biasa sempurna dan indah, satu wujud yang tak ada kelemahannya. Menyembah makhluk, apa pun bentuk penyembahan itu, merupakan penyimpangan perasaan atau nurani ini dari jalurnya yang benar.
Melalui ibadah atau menyembah, manusia ingin melepaskan diri dari keterbatasan eksistensinya untuk bergabung dengan satu kebenaran yang tak ada kelemahannya, yang tak akan hancur, atau yang tak ada batasnya. Ilmuwan besar Einstein mengatakan:
“Dalam keadaan seperti ini manusia sadar bahwa tujuan dan ambisinya tak ada harganya, dan merasa betapa hal-hal yang supranatural dan metafisis membuat dirinya terpesona dan kagum. Berdoa dan bersembahyang yang merupakan sarana untuk mencerahkan jiwa, adalah perbuatan wajar dan sangat dibutuhkan. Melalui sarana ini pulau kecil kepribadian kita sontak menemukan posisinya dalam totalitas kehidupan yang lebih besar.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)
Menyembah dan memuji menunjukkan suatu kemungkinan, suatu hasrat untuk keluar dari lingkungan material, dan suatu kecenderungan untuk masuk dalam cakrawala yang lebih tinggi dan lebih luas. Hasrat seperti ini hanya manusia saja yang punya. Karena itu menyembah atau beribadah merupakan satu lagi dimensi mental dan spiritual manusia.
Beragam dorongan hati mempengaruhi orang seorang. Dan pengaruhnya pada orang yang satu dan orang yang lain beragam. Dan dorongan hati mana yang dipilih oleh individu, antara individu yang satu dengan yang lain beragam pilihannya. Dan ini semua merupakan masalah yang akan dibahas nanti.
Beragam Daya Manusia
Daya atau kekuatan tak perlu didefinisikan. Faktor yang menimbulkan pengaruh disebut daya atau kekuatan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan sumber pengaruh. Karena itu segala sesuatu, apakah sesuatu itu benda non-organis ataukah tumbuhan, binatang atau manusia, memiliki daya atau kekuatan. Bila daya atau kekuatan ini disertai kesadaran, pemahaman dan hasrat, maka disebut kemampuan. Salah satu perbedaan antara binatang dan manusia di satu pihak, serta tumbuhan dan benda non-organis di lain pihak, adalah bahwa tak seperti benda non-organis dan tumbuhan, binatang dan manusia terdorong untuk menggunakan sebagian daya atau kekuatannya karena menginginkannya atau karena ada kecenderungan untuk menggunakan kekuatan itu atau karena ada rasa takut. Magnet memiliki sifat menarik besi secara otomatis akibat adanya tekanan alamiah. Namun magnet tak tahu kalau magnet tersebut efektif, juga tarikan magnet tersebut terjadi bukan karena kecenderungan magnet sendiri, keinginan magnet tersebut, juga bukan karena adanya rasa takut sehingga magnet tersebut dituntut untuk menarik besi. Begitu pula yang terjadi dengan api yang memiliki sifat membakar, tumbuhan yang memiliki sifat tumbuh, potion yang memiliki sifat berkembang dan berbuah. Namun binatang, bila berjalan, tahu apa yang tengah dilakukan. Binatang berjalan karena memang ingin berjalan. Binatang berjalan bukan karena paksaan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa binatang berjalan karena memang memilih untuk berjalan. Dengan kata lain, beberapa daya binatang merupakan bawahan dari pilihannya. Binatang beraktivitas hanya bila me-nginginkannya.
Begitu pula dengan sebagian kekuatan manusia. Sebagian kekuatan manusia menjadi bawahan dari pilihannya. Namun ada satu perbedaan. Pilihan binatang dikendalikan oleh kecenderungan alamiah dan naluriahnya. Binatang tak berdaya menentang perintah nalurinya. Kalau nalurinya sudah tertarik untuk menuju ke arah tertentu, maka otomatis binatang itu akan ke arah tertentu tersebut. Binatang tak dapat melawan kecenderungan naluriahnya. Binatang juga tak dapat mempertimbangkan untung ruginya. Binatang tak dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan, yang sekarang ini tidak menjadi kecenderungannya, kelak sangat dibutuhkan.
Namun yang terjadi pada din manusia tidaklah begitu. Manusia berdaya untuk menentang kecenderungan dan dorongan naluriahnya, dan berdaya untuk tidak mengikuti kecenderungan dan dorongan naluriahnya. Manusia memiliki daya untuk memilah-milah, karena manusia memiliki daya lain yang disebut kehendak. Kehendak ini bekerja atas arahan akal atau fakultas intelektual manusia. Fakultas intelektual inilah yang membentuk pendapat, dan kehendaklah yang mempraktikkan pendapat tersebut.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa daya atau kekuatan manusia beda dengan daya atau kekuatan binatang. Perbedaannya adalah dalam dua hal. Pertama, manusia memiliki sejumlah kecenderungan dan dorongan spiritual yang membuat manusia dapat memperluas bidang aktivitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih tinggi, sedangkan binatang tak dapat keluar dari batas urusan material. Kedua, manusia memiliki daya akal dan kehendak. Dengan daya ini manusia dapat menolak kecenderungan naluriahnya dan dapat membebaskan diri dari pengaruh kecenderungan naluriahnya yang bersifat memaksa itu. Manusia dapat mengendalikan kecenderungan naluriahnya dengan menggunakan akalnya. Manusia dapat menentukan batas bagi tiap kecenderungannya, dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling berharga.
Daya yang luar biasa ini hanya dimiliki manusia, sedangkan binatang tidak memiliki daya seperti ini. Daya inilah yang menjadikan manusia tepat untuk berkewajiban menaati ajaran agama. Daya ini pulalah yang membuat manusia punya hak untuk memilih, sehingga manusia benar-benar merupakan makhluk yang merdeka, berkemauan dan dapat menentukan pilihan.
Kecenderungan dan dorongan merupakan semacam ikatan antara manusia dan sesuatu yang berada di luar dirinya yang menarik manusia ke arah sesuatu tersebut. Kalau manusia semakin tunduk kepada kecenderungannya, maka dia semakin tak dapat mengendalikan dirinya dan semakin terperosok dalam kelesuan dan kesengsaraan batiniah. Nasibnya ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya, suatu kekuatan yang menarik manusia ke arah tertentu. Sebaliknya, daya akal dan kehendak merupakan daya batiniah dan manifestasi personalitas sejati manusia.
Bila seseorang mendapat dukungan akal dan kehendak, berarti dia mendapat kekuatannya sendiri dan sekaligus menyingkirkan pengaruh luar, maka dia pun merdeka dan menjadi “pulau yang merdeka” di tengah samudra dunia ini. Dengan menggunakan akal dan kehendaknya, manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan kepribadiannya pun memperoleh kekuatan. Bisa mengendalikan dan menjadi tuan bagi diri sendiri, dan bisa melepaskan diri dari pengaruh dorongan naluriah, merupakan objek sejati pendidikan Islam, suatu pendidikan yang tujuannya adalah kemerdekaan spiritual.
SadarDiri
Islam sangat menghendaki agar manusia kenal dirinya sendiri dan tahu posianya di alam semesta ini. Al-Qur’an menekankan agar manusia tahu siapa dirinya dan agar menyadari posisi dan statusnya di dunia ini sehingga dengan demikian dapat mencapai posisi yang tinggi yang sesuai bagi dirinya.
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang mengajarkan kepada manusia bagaimana membangun dirinya. Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab yang berisi filsafat teoretis yang cuma mengurusi berbagai diskusi dan pandangan. Apa pun pandangan yang dikemukakan Al-Qur’an, itu dimaksudkan untuk dilaksanakan dan ditindaklanjuti. Al-Qur’an mau agar manusia mengenal siapa dirinya. Namun pengenalan diri ini tidak berarti manusia harus tahu siapa nama dirinya, siapa nama ayahnya, tahun berapa dia lahir, apa negerinya, siapa istrinya, atau berapa jumlah anaknya.
Diri yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diberi nama “roh Tuhan”. Mengenal diri ini artinya adalah manusia sadar akan martabat dan kehormatannya dan memahami bahwa bila dirinya berbuat keji maka hal itu tidak sesuai dengan (mencemarkan) posisinya yang tinggi. Manusia supaya sadar akan kesuciannya sendiri sehingga nilai moral dan sosial yang suci akan ada artinya bagi dirinya.
Bila Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, Al-Qur’an ingin menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang kebetulan ada berkat kejadian tertentu yang buta dan tuli seperti perpaduan atom-atom yang terjadi secara tidak disengaja. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, dan karena alasan itu manusia memiliki misi dan tanggung jawab. Tak syak lagi bahwa di dunia ini manusia adalah makhluk yang paling kuat dan kuasa. Kalau bumi beserta isinya kita samakan dengan rumah tinggal, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuan rumah ini. Namun betulkah manusia telah dipilih untuk menjadi tuan, atau manusia telah memanfaatkan dunia dengan kekuatan atau trik.
Berbagai mazhab filsafat material menyatakan bahwa karena kebetulan semata kalau manusia berkuasa. Jelaslah bahwa dengan pandangan seperti ini maka masalah misi dan tanggung jawab jadi tak ada artinya. Dari sudut pandang Al-Qur’an, manusia dipilih untuk menjadi tuan (penguasa) di muka bumi, karena manusia memiliki kompetensi dan tepat untuk itu. Manusia berkuasa bukan karena kekuatan atau karena perjuangan. Manusia dipilih oleh otoritas yang maha kompeten, yang tak lain adalah Allah Ta’ala. Karena itu, seperti makhluk lain yang juga dipilih, manusia mengemban misi dan tanggung jawab. Karena misinya dari Allah SWT, maka tanggung jawab manusia juga kepada Allah SWT.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk pilihan dan diwujudkan dengan tujuan tertentu, menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri individu, dan keyakinan bahwa manusia adalah produk dari sejumlah kejadian asal-asalan, menimbulkan pengaruh psikologis yang lain. Arti sadar diri adalah manusia supaya menyadari posisi riilnya di dunia ini. Dia supaya tahu bahwa dirinya bukanlah sekadar makhluk bumi. Dia merupakan refleksi dari ruh ilahiah yang ada dalam dirinya. Manusia supaya tahu bahwa, dalam hal pengetahuan, dirinya berada di depan (mengungguli) malaikat. Manusia merdeka, memiliki daya untuk memilih dan berkehendak, dan bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain. Tanggung jawabnya antara lain adalah memajukan dunia:
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. (QS. Hud: 61)
Manusia supaya tahu bahwa dirinya adalah khalifah (wakil) yang ditunjuk Allah, SWT dan bahwa dirinya unggul bukan karena kebetulan. Karena itu manusia tidak patut mendapatkan sesuatu dengan lalim dan tidak patut mengira tak punya tanggung jawab.
Pengembangan Kemampuan
Ajaran Islam menunjukkan bahwa mazhab suci Islam juga memperhatikan semua dimensi yang dimiliki manusia, apakah dimensi fisis, spiritual, material, moral, intelektual, atau emosional. Mazhab suci Islam sangat memperhatikan semua dimensi ini, apakah individual atau kolektif, dan tidak mengabaikan aspeknya. Mazhab suci Islam memberikan perhatian khusus kepada pengembangan dan pemajuan semua dimensi ini sesuai dengan prinsip-prinsip tertentunya. Satu demi satu kami uraikan secara singkat.
Pengembangan Raga
Terialu banyak memperhatikan raga, dalam pengertian memuaskan hawa nafsu, sangat ditentang oleh Islam. Namun Islam memandang manusia berkewajiban menjaga kesehatan tubuhnya, dan mengharamkan setiap perbuatan yang merugikan atau membahayakan tubuh. Jika suatu kewajiban (seperti puasa) dinilai membahayakan kesehatan, bukan saja kewajiban tersebut kehilangan nilai wajibnya, bahkan dilarang. Setiap perbuatan yang tidak sehat, oleh Islam dianggap haram. Dan banyak garis kebijakan dikemukakan untuk kepentingan menjamin kesehatan tubuh dari sudut pandang ilmu kesehatan.
Sebagian orang tidak membedakan mana yang merawat tubuh, yang merupakan masalah kesehatan, dan mana yang memuaskan kenikmatan jasmani, yang merupakan masalah moral. Menurut mereka, karena Islam menentang pengumbaran nafsu jasmani, berarti Islam juga menentang pemeliharaan kesehatan jasmani. Mereka bahkan berpendapat bahwa perbuatan yang membahayakan kesehatan merupakan perbuatan moral dari sudut pandang Islam. Pikiran seperti ini pada umumnya salah dan membahayakan. Antara memelihara kesehatan dan pemuasan hawa nafsu, bedanya sangat besar.
Islam menentang hubungan seksual yang tidak bermoral. Mengumbar hawa nafsu menghalangi perkembangan spiritual. Mengumbar hawa nafsu bukan saja merugikan kesehatan jiwa, namun juga merugikan kesehatan jasmani. Bahkan bisa menghancur-kan kesehatan jasmani, karena mengumbar hawa nafsu menimbulkan keberlebihan, sedangkan keberlebihan pada dasamya mengganggu semua sistem tubuh.
Perkembangan Jiwa
Islam sangat memperhatikan perkembangan kemampuan mental dan pemikiran mandiri . Islam juga menentang semua yang bertentangan dengan kemandirian akal, seperti mengikuti secant membuta para leluhur atau orang terkemuka dan mengikuti mayoritas tanpa melakukan telaah. Mendorong daya kehendak, mendorong pengendalian din dan mendorong kemerdekaan dari kendali mutlak dorongan naluriah, merupakan basis dari banyak rukun dalam ibadah Islam dan ajaran Islam lainnya. Islam memberikan perhatian khusus untuk mendorong orang menyukai kebenaran, suka menuntut ilmu dan mendorong perkembangan rasa estetis dan mendorong orang untuk suka beribadah.
Peran Efektif Manusia dalam Membangun Masa Depannya
Di dunia ini ada dua jenis benda: organis dan non-organis. Benda non-organis seperti air, api, batu dan debu merupakan benda tak bernyawa, dan tak ada perannya dalam pembentukan atau peayempurnaan dirinya. Benda-benda ini terbentuk semata-mata karena dampak faktor-faktor dari luar dirinya, dan terkadang benda-benda ini jadi sempurna karena dampak faktor-faktor yang sama. Benda-benda ini tidak terlihat berupaya membangun atau mengembangkan dirinya.
Sebaliknya, kita melihat benda-benda hidup seperti tumbuhan, binatang dan manusia selalu berupaya melindungi din dari bahaya, kerugian atau kerusakan. Benda-benda hidup ini menerima materi lain tertentu dan berketurunan. Tumbuhan memiliki sejumlah kemampuan alamiah yang efektif dalam membentuk masa depannya. Tumbuhan memiliki daya untuk menyerap materi dari bumi dan udara. Tumbuhan memiliki daya yang membantunya dari dalam untuk tumbuh dan berkembang. Tumbuhan juga memiliki daya yang memungkinkannya beranak-pinak.
Binatang memiliki semua daya alamiah ini, di samping memiliki sejumlah daya sadar yang lain seperti indera untuk melihat, indera untuk belajar dan meraba, dan dorongan serta kecenderungan alamiah yang disebutkan sebelumnya. Melalui daya dan kemampuan ini, binatang di satu pihak melindungi dirinya dari kerugian dan kecelakaan, dan di pihak lain mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan individualnya dan kelangsungan hidup spesiesnya. Dalam diri manusia ada semua daya dan kemampuan alamiah dan sadar yang ada dalam diri binatang dan tumbuhan. Manusia juga mempunyai sejumlah dorongan yang lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Manusia memiliki akal dan kehendak, sehingga nasib manusia sangat banyak ditentukan oleh manusia sendiri. Dan dengan akal dan kehendak ini manusia dapat menentukan masa depannya sendiri.
Dari apa yang telah dipaparkan jelaslah bahwa sebagian benda yang ada, seperti benda non-organis, tak berperan dalam menentukan masa depannya. Ada beberapa benda lagi yang memiliki peran untuk menentukan masa depannya, namun perannya bukan peran yang sadar dan merdeka. Alam mengarahkan daya yang ada dalam dirinya sedemikian rupa sehingga benda-benda ini secara tak sadar melindunginya dan membentuk masa depannya. Inilah yang terjadi pada tumbuhan. Ada lagi benda-benda lain yang perannya lebih besar. Peran benda-benda ini adalah peran yang sadar, meskipun tidak merdeka. Benda-benda ini berupaya menjaga kelangsungan eksistensinya dengan semacam kesadaran diri dan pengetahuan tentang lingkungannya. Itulah yang terjadi pada binatang. Namun peran manusia lebih aktif, lebih ekstensif dan lebih luas dalam menentukan masa depannya. Perannya adalah peran yang sadar dan peran yang merdeka. Manusia sadar akan dirinya dan juga lingkungannya. Melalui kehendak dan daya pikirnya manusia dapat memilih masa depannya seperti yang dikehendakinya. Peran manusia jauh lebih luas daripada peran binatang. Luasnya bidang peran manusia dalam menentukan masa depannya ini terjadi karena manusia memiliki tiga sifat khas:
1. Keluasan Informasinya
Dengan pengetahuannya manusia memperluas informasinya, dari informasi yang ringan tentang alam sampai informasi yang mendalam tentang alam. Manusia mengetahui hukum alam, dan dengan menggunakan hukum alam ini manusia dapat memola alam seperti yang dibutuhkan hidupnya.
2. Keluasan Hasratnya
Sifat khas manusia ini sudah dijelaskan dalam bab Manusia dan Binatang dan Manusia sebagai Makhluk Multidimensional.
3. Manusia Memiliki Kemampuan Khusus untuk Membentuk Dirinya
Tak ada makhluk lain yang dalam hal ini dapat disamakan dengan manusia. Meskipun pada organisme hidup tertentu lainnya seperti tumbuhan dan binatang dapat terjadi juga perubahan tertentu akibat faktor pelatihan khusus, namun organisme hidup ini tak dapat membuat sendiri perubahan ini. Manusialah yang membawa perubahan yang diperlukan organisme hidup ini. Lagi pula, kalau dibandingkan dengan manusia, kemungkinan berubah pada organisme hidup ini sangat terbatas.
Mengenai kemampuan dan kebiasaannya, manusia hanyalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, binatang lahir dalam keadaan membawa sejumlah kemampuan khususnya. Meski manusia tak membawa kemampuan dan kebiasaan, namun dia mampu memperoleh banyak kemampuan. Secara berangsur-angsur manusia memiliki sejumlah “dimensi kedua” di samping dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka-nya. Tak seperti bentuk organ tubuhnya yang mengalami pe-nyempurnaan ketika manusia masih ada di rahim ibunya, bentuk organ psjkologisnya yang dikenal sebagai kemampuannya, kebiasaannya dan karakter moralnya, sebagian besar mengalami penyempurnaan setelah manusia lahir.
Itulah sebabnya kenapa setiap makhluk, termasuk binatang, hanya seperti apa adanya. Hanya manusia saja yang dapat menjadi seperti apa yang dikehendakinya. Juga karena alasan inilah semua binatang dari satu spesies memiliki kemampuan dan sifat psikologis yang sama, di samping memiliki organ dan anggota badan yang sama. Kucing memiliki kebiasaan tertentu. Begitu pula anjing dan semut, misalnya. Kalau ada perbedaan di antara individu hewan itu, itu tidak penting. Namun perbedaan kebiasaan dan perbedaan karakter moral di antara individu manusia tak ada batasnya. Karena itu manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih akan jadi apa dia.
Banyak riwayat menyebutkan bahwa pada Hari Kebangkitan nanti manusia akan dibangkitkan dalam bentuk yang sesuai dengan kualitas spiritualnya dan bukan dalam bentuk fisis tubuhnya. Dengan kata lain, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk binatang yang paling mirip dengan dirinya dari segi kualitas moralnya. Orang-orang yang akan dibangkitkan dalam bentuk manusia adalah orang-orang yang kualitas moralnya dan dimensi spiritual sekundernya sesuai dengan martabat manusia. Dengan kata lain, orang-orang yang moral dan akhlaknya adalah moral dan akhlak manusia.
Berkat pengetahuannya, manusia dapat menundukkan alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena memiliki kemampuan untuk membentuk diri, maka manusia membentuk dirinya sesukanya, dan dengan demikian dia menjadi penentu masa depannya sendiri. Semua lembaga pendidikan, sekolah moral dan ajaran agama dimaksudkan untuk mengajari manusia cara membentuk masa depannya. Jalan lurus adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang sejahtera, sedangkan jalan yang berliku adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang porak-peranda dan sengsara. Allah SWT berfirman yang artinya:
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur, dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 3)
Dari uraian di atas kita tahu bahwa pengetahuan dan iman ada perannya sendiri-sendiri dalam membentuk masa depan manusia.
Peran pengetahuan adalah menunjukkan jalan atau cara membentuk masa depan manusia. Pengetahuan membuat manusia dapat membentuk masa depannya sesukanya. Iman member! manusia petunjuk membentuk masa depannya sedemikian rupa sehingga masa depannya itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Iman mencegah manusia jangan sampai membentuk masa depannya dengan basis material dan individualistic. Iman mengarahkan hasrat manusia, agar manusia juga menginginkan hal-hal yang spiritual, jangan sampai manusia hanya terpaku pada hal-hal yang materialistis.
Pengetahuan bisa menjadi alat untuk memenuhi keinginan manusia. Pengetahuan membantu manusia mengelola alam. Namun pengetahuan tidak mau tahu bagaimana alam dipola dan apakah orang memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan individu-individu tertentu saja. Semuanya itu tergantung pada manusia yang memiliki pengetahuan. Sedangkan iman bekerja laksana kekuatan pengendali. Iman mengendali-kan keicenderungan manusia dan mengarahkan kecenderungan manusia ke jalan kebenaran dan moralitas. Iman membentuk manusia, dan manusia membangun dunia dengan kekuatan ilmu atau pengetahuannya. Kalau iman dan ilmu berpadu, maka manusia dan dunia akan seperti yang diharapkan.
4. Kehendak dan Kemerdekaan Manusia
Kendatipun manusia cukup merdeka untuk dapat mengembangkan organ psikologisnya, untuk dapat mengelola lingkungan alamnya menjadi seperti yang dikehendakinya, dan untuk dapat membentuk masa depannya, namun jelaslah manusia banyak keterbatasannya, dan kemerdekaannya hanya relatif. Dengan kata lain, kemerdekaannya ada batasnya, dan hanya dalam keterbatasannya itulah manusia dapat memilih masa depan yang cerah atau masa depan yang gelap.
Ada beberapa segi dalam keterbatasan manusia:
(i) Keturunan
Manusia datang ke dunia ini dengan membawa karakter manusia. Karena kedua orangtuanya manusia, maka dia mau tak mau manusia juga. Dari kedua orangtuanya dia mewarisi sejumlah karakter keturunan, seperti warna kulit dan matanya dan ciri-ciri lain tubuhnya yang sering kali tetap ditularkan selama beberapa generasi. Manusia tak dapat memilihnya. Ciri-ciri seperti itu diterimanya melalui proses pewarisan.
(ii) Lingkungan Alam dan Geografis
Lingkungan alam dan geografis manusia, dan daerah tempat dia besar, selalu menimbulkan sejumlah pengaruh pada tubuh dan jiwanya. Masing-masing daerah beriklim panas, daerah beriklim dingin dan daerah beriklim sedang, tak terelakkan berpengaruh pada jiwa dan moral masing-masing penduduknya. Begitu pula dengan daerah bergunung dan daerah gurun.
(iii) Suasana Sosial
Suasana sosial manusia merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik spiritual dan moralnya. Suasana sosial menetapkan agar manusia memiliki bahasa, tatacara sosial, adat dan agama.
(iv) Faktor Sejarah dan Waktu
Dari segi lingkungan sosial, manusia bukan saja dipengaruhi oleh masa kini, namun juga masa lalu penting perannya dalam membentuk wataknya. Pada umumnya ada mata rantai antara setiap wujud sekarang dan setiap wujud dahulu. Masa lalu dan masa depan suatu wujud tidak sepeiti dua benda yang satu sama lain benar-benar terpisah atua berdiri sendiri, namun seperti dua proses yang berkesinambungan. Masa lalu adalah benih dan nukleus (inti) masa depan.
Manusia Memberontak Terhadap Keterbatasan
Sekalipun manusia tak mungkin memutuskan sepenuhnya hubungannya dengan keturunannya, lingkungan alamnya, suasana sosialnya dan faktor sejarah dan faktor waktu, namun manusia dapat memberontak terhadap pembatasan yang terjadi akibat keturunan, lingkungan alam, suasana sosial dan faktor sejarah serta faktor waktu. Manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk dapat membebaskan diri dari faktor-faktor ini. Berkat ilmu, pengetahuan dan akalnya di satu pihak, dan kehendak serta imannya di pihak lain, manusia dapat mengubah faktor-faktor ini sekehendaknya, dan dapat menentukan nasibnya sendiri.
Manusia dan Takdir
Pada umumnya diyakini bahwa takdir Tuhan merupakan faktor utama yang membuat manusia terbatas ruang geraknya. Dalam membahas faktor-faktor yang membatasi kemerdekaan manusia, masalah takdir tidak disinggung. Kenapa?
Apakah takdir Tuhan tak ada, atau apakah takdir bukan faktor pembatas? Tak ada keraguan bahwa takdir Tuhan ada, namun takdir tidak membatasi kemerdekaan manusia. Takdir memiliki dua bagian: qadha dan qadar. Arti qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa, sedangkan qadar adalah esdmasi tentang fenomena dan kejadian. Dari sudut pandang teologi sudah jelas dan pasti bahwa takdir Tuhan tidak berlaku langsung pada kejadian. Takdir Tuhan mengharuskan kejadian itu terjadi hanya melalalui sebabnya. Qadha Tuhan menghendaki agar tatanan dunia didasarkan pada sistem sebab-akibat. Apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia karena akal dan kehendaknya, dan apa pun keterbatasan yang dimiliki manusia karena faktor keturunan, lingkungan dan sejarah, namun oleh takdir Tuhan manusia ditundukkan kepada sistem sebab-akibat di dunia.
Karena itu qadha Tuhan tidak dianggap sebagai faktor yang membatasi kemerdekaan manusia. Apa pun pembatasan yang dikenakan pada manusia merupakan akibat keturunan, kondisi lingkungan dan kondisi sejarah manusia. Begitu pula, apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia, itu juga telah diputuskan oleh Allah SWT. Allah S\VT telah memutuskan agar manusia berakal dan berkehendak, dan dalam bidang terbatas kondisi alam dan sosial-nya manusia cukup mandiri dari kondisi-kondisi ini, sehingga manusia dapat menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri.
Manusia dan Kewajiban
Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa. Misalnya, mustahil menetapkan aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda, sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus dipaksakan kepada mereka.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual (berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti ini diberi nama “kewajiban”.
Untuk mengikat manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi dalam setiap kewajiban adalah:
(i) Akil Balig
Ketika manusia sampai pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.
Mustahil mengetahui dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata, atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).
Berdasarkan ini individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini merupakan salah satu syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya, kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum mencapai usia akil balig menurut hukum.
(ii) Sehat Rohani
Syarat lain untuk menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig, seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap berkewajiban, bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.
(iii) Tahu dan Sadar
Jelaslah orang baru bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut. Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu. Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum tersebut tidak benar.
Al-Qur’an berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur’an mengatakan bahwa orang tak boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban. Mereka akan menjawab, “Kami tidak tahu.” Akan dikatakan kepada mereka, “Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu hukum?” Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada orang yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT orang seperti itu dimaafkan.
(iv) Mampu
Orang baru berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemampuannya. Begitu pula, memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber yang adil dan arif:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah: 286)
Dengan kata lain, Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya. Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita berkewajiban menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya. Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan, begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi penonton yang mad kutu:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl: 60)
Karena seseorang atau suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan, maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah tidak bisa dijadikan sebagai alasan.
(v) Mampu Memilih dan Bebas Berkehendak
Prasyarat lain kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib berpuasa. Begitu pula dengan posisi seseorang yang memiliki sarana untuk pergi haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan.”
Dalam kasus keadaan, orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya.
Namun tak ancaman seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.
Namun tak ada kaidah umum berkenaan dengan efek keterpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban. Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian.
Syarat untuk Absah
Sejauh ini pembicaraan kita adalah tentang syarat berlakunya hukum pada wajib hukum. Kalau syarat ini tak ada maka orang tak harus melaksanakan kewajiban. Juga ada syarat lain yang dikenal dengan nama syarat sahnya pelaksanaan kewajiban. Kita tahu bahwa semua aktivitas, entah itu ibadah atau transaksi, harus memenuhi syarat tertentu dan harus memiliki kualitas tertentu agar dapat dianggap sah. Karena itu, syarat untuk sahnya suatu pelaksanaan kewajiban adalah bahwa seseorang yang tak memiliki syarat itu tidak dapat dianggap menjalankan kewajibannya dengan benar. Bila kewajiban dilaksanakan, padahal syaratnya belum tepenuhi, maka pelaksanaan kewajiban itu tidak sah.
Seperti berlakunya hukum, syarat sahnya pelaksanaan kewajiban juga banyak. Syarat tersebut dibagi menjadi dua golongan: umum dan khusus. Syarat khusus adalah syarat yang hanya untuk pelaksanaan kewajiban tertentu, dan dipelajari ketika mempelajari cara menunaikan kewajiban itu. Selain itu, ada beberapa syarat umum. Ada beberapa syarat yang menjadi syarat berlaku dan sahnya, dan ada beberapa syarat lain yang menjadi syarat berlakunya saja atau sahnya saja. Syarat sahnya juga ada tiga. Sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas ibadah dan transaksi. Sebagian merupakan syarat sahnya akdvitas ibadah saja dan sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas transaksi saja.
Kesehatan mental merupakan syarat bagi berlaku dan sahnya. Orang yang tak sehat rohaninya tak dapat dikenai hukum, dan perbuatannya, entah perbuatannya itu perbuatan ibadah atau transaksi, tidak sah. Misalnya, jika orang tak sehat rohaninya menunaikan ibadah haji, maka hajinya akan kacau. Begitu pula, dia tak boleh salat atau puasa, juga dia tak boleh berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum dalam salat berjamaah.
Mampu, seperti juga sehat rohani, merupakan syarat berlakunya hukum maupun syarat sahnya perbuatan. Begitu pula dengan non-paksaan. Orang yang terpaksa tak dapat menunaikan kewajiban, maka dia lepas dari kewajiban tersebut. Jika orang dengan terpaksa melakukan transaksi atau melakukan akad pernikahan, maka perbuatannya itu tidak sah.
Akil balig merupakan syarat berlakunya hukum namun bukan syarat sahnya suatu perbuatan. Anak kecil itu sendiri tak berkewajiban melaksanakan kewajiban agama. Namun jika dia cukup mengerti dan dapat melakukan perbuatan religius dengan benar seperti orang dewasa, maka perbuatannya itu sah. Dengan demikian dalam salat berjamaah anak kecil dapat berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum. Dia juga dapat melakukan ibadah atas nama orang lain. Fakta bahwa akil balig bukanlah syarat sahnya perbuatan ibadah, tak terbantahkan lagi. Namun bagaimana dengan transaksi? Sebagian ulama berpandangan bahwa akil balig merupakan syarat sahnya transaksi juga. Karena itu seorang anak laki-laki pun yang memiliki pengertian penuh tak dapat sendirian melakukan transaksi, baik untuk dirinya ataupun atas nama orang lain. Misal, anak kecil tak boleh menjual, membeli atau meminjamkan sesuatu, juga tak boleh membacakan bacaan nikah.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak lelaki yang mengerti tak boleh melakukan transaksi sendiri, meskipun dia dapat bertindak sebagai wakil orang lain. Tahu dan sadar dan juga tak adanya paksaan dari keadaan merupakan syarat berlakunya hukum, meski bukan syarat sahnya. Karena itu, jika seseorang secara tak sadar melakukan perbuatan, entah perbuatan itu perbuatan ibadah atau transaksi, perbuatannya itu tetap sah kalau perbuatan itu kebetulan sempurna dalam segala hal lainnya. Begitu pula, kalau seseorang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan transaksi atau akad nikah, maka perbuatan tersebut sah. Misal, ada seseorang mempunyai sebuah rumah yang sangat disukainya dan dia tak mau menjualnya. Namun mendadak sontak karena alasan tertentu dia sangat membutuhkan uang dan terpaksa menjualnya. Dalam kasus ini transaksinya sah. Contoh lain. Seorang lelaki dan seorang perempuan tak ada niat untuk menikah. Namun suatu penyakit berkembang sedemikian rupa sehingga dokter menyarankan agar lelaki itu atau wanita itu menikah segera, dan keduanya terpaksa menikah. Pernikahan ini juga sah. Ini menunjukkan bahwa dari segi keabsahan ada bedanya antara transaksi yang dilakukan di bawah paksaan dan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan. Transaksi yang pertama tidak sah, sedangkan transaksi yang kedua sah.
Nampaknya perlu dijelaskan kenapa transaksi yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah sedangkan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan sah. Dapatlah dikemukakan bahwa perse tujuan si pelaku perbuatan tak ada dalam kedua kasus itu. Orang yang menjual rumahnya atau bisnisnya karena diancam, sesungguhnya dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Begitu pula orang yang dipaksa keadaan (misal, untuk membiayai pengobatan) menjual rumah atau bisnisnya, juga dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Orang yang terpaksa menjual rumahnya karena harus membayar biaya pengobatan anaknya yang sakit, akan merasa sedih dengan transaksi ini. Sejauh menyangkut kemauannya, posisinya tidak berubah meski ada fakta bahwa orang yang berada di bawah ancaman itu ingin mencegah bahaya, sedangkan orang yang dipaksa keadaan ingin memenuhi kebutuhan yang mendesak. Juga tak terjadi perbedaan yang substansial bahwa dalam kasus paksaan, tangan manusia langsung terlibat dalam bentuk seorang tiran, dan dalam kasus dipaksa keadaan, tangan manusia hanya terlibat secara tak langsung dalam bentuk eksploitasi, kolonialisme dan sebagainya.
Faktanya adalah alasan kenapa Islam membedakan antara orang yang dipaksa dan orang yang dipaksa keadaan, dan memandang perbuatan orang yang dipaksa tidak sah, sedangkan orang yang dipaksa keadaan dipandang sah, ada di lain tempat. Baik orang yang dipaksa maupun orang yang dipaksa keadaan, sama-sama didesak kebutuhan. Kebutuhan orang yang dipaksa adalah menghindarkan kejahatan tiran. Di sini hukum Islam membantu orang yang berada di bawah paksaan tersebut, dan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan karena dipaksa itu tidak sah. Sebaliknya orang yang dipaksa keadaan membutuhkan langsung uang yang dicoba didapatnya melalui transaksi. Di sini sekali lagi hukum Islam membantu orang yang dipaksa keadaan, dan menyatakan bahwa transaksinya sah. Jika hukum Islam menyatakannya tidak sah, maka akibatnya tentu merugikan orang yang dipaksa keadaan itu. Misal, dalam contoh di atas, menjual rumah dinyatakan tidak sah. Maka akibatnya adalah si pembeli tidak menjadi pemilik rumah, dan si penjual juga tidak menjadi pemilik uang yang sangat dibutuhkannya untuk biaya pengobatan anaknya yang sakit. Itulah sebabnya kenapa para faqih mengatakan bahwa menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan di bawah paksaan berarti berpihak kepada orang yang dipaksa. Namun menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan, berarti tidak berpihak kepada orang yang dipaksa keadaan.
Di sini timbul pertanyaan lagi. Bolehkah orang memanfaatkan kebutuhan mendesak orang lain dan membeli barangnya dengan harga yang jauh di bawah harga wajar dan memandang transaksi tersebut sah? Tentu saja tidak. Kini timbul pertanyaan lagi. Apakah transaksi ini, sekalipun dilarang, tetap saja sah. Dan jika sah, apakah si pemanfaat keadaan tersebut diminta menutup kerugian dan membayar dengan harga pasar? Semua ini perlu dibahas lebih lanjut.
Pengertian yang dewasa (rusyd) merupakan syarat sahnya, meski bukan syarat berlakunya hukum. Dalam hukum Islam, orang yang ingin melakukan perbuatan yang mempengaruhi masyarakat, seperti menikah atau melakukan transaksi atas kemauan sendiri, harus memiliki keleluasaan dan penilaian, yaitu pengertian yang cukup dan kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan dengan benar transaksi yang hendak dilakukannya, selain memenuhi syarat umum lainnya seperti sudah akil balig, sehat rohani, mampu, dan memiliki kehendak bebas.
Dalam hukum Islam, belum cukup hanya dengan sehat rohani saja orang dapat menikah atau menjual harta. Dia juga harus sudah berusia akil balig, dan transaksinya dilakukan atas dasar kehendak bebas. Pernikahan anak lelaki dan anak perempuan baru sah kalau keduanya memiliki kecerdasan yang memadai untuk dapat mengetahui makna pernikahan: untuk apa pernikahan itu, apa tanggung jawabnya, dan bagaimana dampaknya pada nasib individu. Anak lelaki atau anak perempuan tak boleh asal menikah saja, karena menikah merupakan sesuatu yang sangat penting artinya.
Begitu pula, anak lelaki atau anak perempuan yang memiliki harta sendiri yang didapat dari warisan atau lainnya, tak dapat memiliki hartanya hanya karena sudah berusia akil balig. Anak lelaki dan anak perempuan tersebut perlu diuji untuk mengetahui apakah mereka cukup mengerti untuk memiliki dan memanfaatkan harta mereka. Jika mereka belum memiliki pengertian yang memadai, maka harta mereka tetap diurus oleh wali mereka yang sah. Al-Qur’an memfirmankan:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. (QS. an-Nisâ’: 6)
Sumber: http://sriyandi.wordpress.com/
Sisi Positif Manusia
1. Manusia adalah wakil (khalifah) Allah SWT di muka bumi.
Ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia, Allah SWT memberitahu para malaikat-Nya perihal maksud-Nya:
Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orangyang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucihan Engkau? Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa di muka bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al-An’âm: 165)
2. Di antara seluruh ciptaan, manusia memiliki kemampuan yang paling tinggi untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu:
Dan Dia mengajarkan hepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!” Mereka menjawab: “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahulah mereka nama benda-benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. al-Baqarah: 31-33)
3. Fitrah manusia itu sedemikian rupa sehingga secara intuisi manusia tahu bahwa hanya ada satu Allah SWT. Kalau manusia tidak percaya dan ragu, maka hal itu abnormal dan merupakan penyimpangan dari fitrahnya:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. al-A’râf: 172) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. ar-Rûm: 30)
4. Selain unsur-unsur material yang ada dalam materi non-organis, tumbuhan dan binatang, dalam fitrah manusia ada satu unsur ilahiah dan malaikat juga.
Manusia adalah perpaduan antara yang natural dan yang ekstra-natural, yang material dan yang non-material, yang jasadi dan yang rohani:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia dptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan he dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya. (QS. as-Sajdah: 7-9)
5. Penciptaan manusia dilakukan dengan perhitungan yang matang, bukan kebetulan. Manusia adalah makhluk pilihan:
Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 122)
Kepribadian manusia itu independen dan merdeka. Manusia adalah khalifah (wakil) yang diangkat Allah SWT dan memiliki misi serta tanggung jawab. Manusia dituntut untuk memperbaiki bumi dengan upaya dan prakarsanya, dan dituntut untuk memilih kesejahteraan atau kesengsaraan. Al-Qur’an memfirmankan:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 2-3)
6. Manusia memiliki martabat dan kemuliaan. Allah SWT telah menjadikan manusia unggul atas banyak makhluk-Nya. Manusia baru dapat merasakan bagaimana Sesungguhnya dirinya itu kalau mewujudkan martabat dan kemuliaannya serta memandang dirinya tak pantas diperbudak dan tak layak berbuat
buruk:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. al-Isrâ’: 70)
7. Manusia mendapat anugerah berupa cita rasa wawasan moral. Manusia tahu mana yang baik dan mana yang buruk dengan menggunakan ilham alamiah:
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepadajiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams: 7-8)
8. Manusia tidak akan pernah cukup, tenang, atau puas dengan apa pun, kecuali kalau dia mengingat Allah SWT. Hasratnya tak ada ujungnya. Manusia cepat jenuh dengan apa pun yang didapatnya. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT sajalah manusia baru dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya:
Hanya dengan mengingat Allah sajalah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’d: 28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, makapasti kamu akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqâq: 6)
9. Segala yang baik di bumi ini telah diciptakan untuk manusia. Al-Qur’an memfirmankan:
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqarah: 29)
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. (QS. al-Jâtsiyah: 13)
Karena itu manusia mempunyai hak untuk memanfaatkannya secara halal.
10. Manusia telah diciptakan untuk beribadah kepada Tuhannya saja dan untuk menerima perintah dari-Nya. Karena itu manusia berkewajiban menaati perintah Allah SWT:
Dan Aku tidak mendptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adz-Dzâriyât: 56)
11. Manusia tak mungkin ingat siapa dirinya, kecuali kalau dia beribadah dan ingat kepada Tuhannya. Jika dia lupa Tuhannya, berarti dia lupa dirinya, dan berarti dia tak tahu siapa dirinya, untuk apa dirinya diciptakan, apa kewajibannya dan hendak ke mana dia. Al-Qur’an memfirmankan:
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. (QS. al-Hasyr: 19)
12. Ketika manusia meninggal dunia, dan saat itu tirai jasmani yang menutupi roh atau jiwanya tersingkapkan, maka dia akan melihat dengan jelas banyak realitas yang sekarang ini gaib. Al-Qur’an memfirmankan:
Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka pengtihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qâf: 22)
13. Bukan keuntungan materi saja yang diupayakan untuk dicapai oleh manusia. Memenuhi kebutuhan hidup akan materi bukanlah satu-satunya motivasi manusia. Manusia sering melakukan sesuatu untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Mungkin saja semua upayanya hanyalah untuk mendapatkan rida Penciptanya. Al-Qur’an memfirmankan:
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. (QS. al-Fajr: 27-28) Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki maupun perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bogus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. at-Taubah: 72)
Karena itu, dari sudut pandang Al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang dipilih Allah SWT untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Manusia adalah makhluk setengah malaikat dan setengah materi. Secara naluriah manusia sadar akan Allah SWT. Manusia merdeka, memegang amanat Allah SWT, bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan atas dunia. Manusia mengendalikan alam, bumi dan langit. Manusia bisa bersemangat karena kebaikan atau karena kejahatan. Keberadaan manusia diawali dengan kelemahan, kemudian berangsur-angsur dia jadi kuat dan sempuma. Yang dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya hanyalah ingat kepada Allah SWT. Kapasitas intelektual dan praktisnya tak ada batasnya. Martabat dan kemuliaan sudah menjadi sifat manusia. Sering kali tak ada aspek material dalam motivasi manusia. Manusia telah diberi hak untuk memanfaatkan secara halal anugerah alam ini, Namun manusia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Tuhannya.
Sisi Negatif Manusia
Pada saat yang sama Al-Qur’an sangat mencela dan mengecam manusia. Al-Qur’an memfirmankan:
Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. al-Hajj: 66)
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-’Alaq: 6-7)
Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. al-Isrâ’: 11)
Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat) seakan-akan dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. Yunus: 12) Dan adalah manusia itu sangat kikir. (QS. al-Isrâ’: 100)
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS. al-Kahfi: 54)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan, dia amat kikir. (QS. al-Ma’ârij: 19-21)
Apakah Manusia pada Dasarnya Baik atau Buruk?
Dari semua ini, apa yang dapat kita simpulkan? Apakah manusia, dari sudut pandang Al-Qur’an, baik dan buruk sekaligus, dan bukan saja begitu namun justru sangat baik dan sekaligus sangat buruk. Apakah manusia berkarakter ganda? Apakah separo dari dirinya terang, dan separo lainnya gelap? Mengapa Al-Qur’an, di satu pihak, begitu memuji manusia, dan di pihak lain begitu mencelanya?
Faktanya adalah Al-Qur’an memuji dan mencela manusia, bukan karena manusia adalah makhluk berkarakter ganda di mana karakter yang satu terpuji sedangkan karakter yang satunya lagi tercela. Al-Qur’an berpandangan bahwa secara potensial manusia memiliki seluruh poin positif, dan poin positif ini harus diwujudkannya. Manusialah yang harus membangun dirinya. Syarat utama yang harus dimiliki agar manusia benar-benar berhasil mewujudkan kualitas-kualitas positif yang secara potensial dimilikinya itu adalah imannya. Iman melahirkan ketakwaan, amal saleh dan upaya sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. Karena imanlah maka ilmu menjadi alat yang bermanfaat, alih-alih menjadi alat untuk memenuhi hasrat keji.
Karena itu khalifah Allah SWT adalah sebenar-benar manusia. Manusia seperti inilah yang disujudi para malaikat. Segalanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki segenap kebajikan manusiawi, yaitu manusia plus iman, bukan manusia minus iman. Manusia minus iman, maka dia cacat, tidak baik dan rusak. Manusia seperti ini serakah, haus darah, kikir dan bakhil. Dia kufur dan lebih buruk ketimbang binatang buas.
Ada ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan manusia seperti apa yang terpuji dan manusia seperti apa yang tercela. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman adalah bukan manusia sejati. Manusia yang mengimani Realitas yang tunggal dan merasa tenteram dan puas dengan mengimani-Nya dan mengingat-Nya, maka dia memiliki segenap kualitas yang unggul. Namun jika seseorang tidak mengimani Realitas itu (Allah), maka dia laksana pohon yang putus hubungan dengan akar-akarnya. Sebagai contoh, kami kutipkan di sini dua ayat:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-’Ashr: 1-3)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan darijin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A’râf: 179)
Makhluk Multidimensi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kendati manusia memiliki banyak kesamaan dengan makhluk hidup lainnya, namun manusia beda sekali dengan mereka. Manusia adalah makhluk material maupun spiritual. Hal-hal yang benar-benar membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya membentuk dimensi-dimensi baru dalam diri manusia. Wilayah perbedaannya ada tiga: (1) wilayah penemuan (pengenalan) diri dan dunia; (2) wilayah kecenderungan-kecenderungan yang mempengaruhi pikiran manusia; (3) wilayah bagaimana manusia dipengaruhi oleh kecenderungan alaminya dan cara dia menyeleksi kecenderungan itu.
Sejauh menyangkut pengenalan akan diri dan akan dunia, binatang mengenal dunia melalui inderanya. Kualitas (kemampuan) ini dimiliki manusia maupun binatang. Dalam hal ini sebagian binatang bahkan lebih tajam inderanya dibanding indera manusia. Namun informasi yang dipasok indera kepada binatang maupun manusia bersifat dangkal dan luarnya saja. Indera tak dapat mengetahui karakter segala sesuatu, juga tak dapat mengetahui hubungan logis segala sesuatu itu.
Selain indera, manusia juga memiliki kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk memahami dirinya dan dunia. Kekuatan misterius ini, yaitu kekuatan untuk memahami ini, tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Dengan kekuatan memahami ini, manusia dapat mengetahui hukum umum alam, dan dengan pengetahuan ini manusia dapat mengendalikan alam dan membuat alam melayani dirinya.
Dalam pembahasan terdahulu disebutkan pengetahuan seperti ini, suatu pengetahuan yang hanya dimiliki manusia, dan juga telah ditunjukkan bahwa mekanisme pemahaman intelektual merupakan salah satu mekanisme paling kompleks dan eksistensi manusia. Kalau mekanisme ini bekerja dengan benar, maka terbuka jalan yang luar biasa bagi manusia untuk mengenal dirinya. Melalui jalan ini manusia dapat mengetahui banyak realitas yang tak dapat diketahuinya melalui inderanya. Melalui kekuatan misterius ini, suatu kekuatan yang hanya dimiliki manusia, manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang tak terjangkau inderanya, khususnya pengetahuan filosofis tentang Allah SWT.
Sejauh menyangkut wilayah kecenderungan, manusia, seperti binatang lainnya, juga dipengaruhi dorongan material dan alamiah. Kecenderungannya untuk makan, tidur, bersetubuh, beristirahat dan sebagainya membuat materi dan alam menjadi perhatian manusia. Namun ini bukanlah satu-satunya kecenderungan atau dorongan yang ada pada diri manusia. Yang juga menjadi perhatian manusia adalah banyak hal lain yang sifatnya bukan material, yaitu hal-hal yang tak ada ukuran dan bobotnya, hal-hal yang tak dapat diukur dengan ukuran material. Kecenderungan dan dorongan spiritual yang sejauh ini teridentifikasi dan diterima adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan Informasi
Manusia tidak menghendaki pengetahuan yang hanya tentang alam saja dan yang hanya bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan materialnya saja. Dalam diri manusia ada naluri untuk mengetahui kebenaran. Manusia menginginkan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan menyukainya. Di samping sebagai sarana untuk dapat hidup lebih enak dan untuk melaksanakan tanggung jawab dengan lebih baik, pengetahuan seperti itu diperlukan sekali. Sejauh menyangkut kehidupan manusia, tak ada bedanya apakah manusia tahu atau tidak tahu misteri-misteri dari apa yang ada di luar galaksi sana, namun manusia tetap lebih suka untuk mengetahui misteri-misteri itu. Karena sudah menjadi fitrahnya, manusia membenci kebodohan, dan tertarik untuk mencari pengetahuan. Karena itu pengetahuan merupakan dimensi intelektual dalam eksistensi manusia.
2. Kebajikan Moral
Manusia, dalam melakukan perbuatan tertentu, tujuannya bukanlah untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut, atau bukan pula untuk mencegah terjadinya kerugian, namun semata-mata karena adanya dampak sentimen tertentu yang disebut sentimen moral. Perbuatan itu dilakukannya karena dia percaya bahwa rasa kebajikannya menuntutnya untuk melakukan perbuatan itu. Misal saja seseorang terdampar di hutan belantara. Dia tak punya makanan, dan putus asa karena dia tahu tak ada yang dapat membantunya. Dia terancam bahaya kematian setiap saat. Sementara itu datang orang lain. Orang lain itu membantunya dan menyelamatkannya dari kematian yang kelihatannya segera bakal terjadi. Kemudian kedua orang ini berpisah, dan satu dengan yang lain tak bertemu. Setelah bertahun-tahun orang yang pernah putus asa itu bertemu orang yang pernah menyelamatkannya. Dan kini sang penyelamat itu kondisinya mengenaskan. Dia ingat sang juru selamat ini pernah menyelamatkan nyawanya. Dalam keadaan seperti ini, apakah had nurani orang ini tidak akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan tertentu? Apakah had nurani tidak akan mengatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan juga? Apakah had nurani tidak akan mengatakan kepadanya bahwa dia berkewajiban memperlihatkan rasa terima kasih kepada orang yang pernah berbuat baik kepadanya? Kami kira jawabannya adalah bahwa had nurani pasti akan berkata positif.
Kalau orang ini segera membantu orang itu, apa yang akan dikatakan had nurani orang lain? Kalau dia tetap tak peduli dan sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi, apa kata hati nurani orang lain?
Tentu saja, dalam kasus pertama, hati nurani orang lain akan menghargai perbuatannya dan akan memujinya. Dan dalam kasus kedua, hati nurani orang lain akan menyalahkan dan mencelanya. Adalah hati nurani moral manusia yang mengatakan:
Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan pula. (QS. ar-Rahmân: 60)
Karena itu barangsiapa menghendaki kebaikan dibalas dengan kebaikan, maka dia terpuji, dan barangsiapa tak peduli dengan kebaikan yang telah diterimanya, maka dia tercela. Perbuatan yang dilakukan karena hati nurani moral itu disebut perbuatan kebajikan moral.
Kebajikan moral merupakan ukuran untuk menilai banyak perbuatan manusia. Dengan kata lain, manusia melakukan banyak hal hanya karena nilai moralnya tanpa mempertimbangkan segi materialnya. Ini juga merupakan salah satu sifat manusia dan salah satu dimensi spiritualnya. Makhluk hidup lainnya tak memiliki ukuran seperti itu untuk menilai perbuatannya. Kebajikan moral dan nilai moral tak ada artinya bagi binatang.
3. Keindahan
Manusia memiliki dimensi mental yang lain. Yaitu rasa tertariknya kepada keindahan dan apresiasinya terhadap keindahan. Rasa estetisnya ini penting perannya dalam segenap bidang kehidupan. Manusia mengenakan pakaian untuk melindungi diri dari sengatan panasnya musim panas dan dinginnya musim dingin. Namun manusia juga memandang penting keindahan warna dan jahitan pakaiannya. Manusia membangun rumah untuk tempat tinggal. Namun manusia lebih memperhatikan keindahan rumahnya ketimbang yang lainnya. Dia memperhatikan prinsip-prinsip estetis dalam memilih meja makan dan barang tembikar dan bahkan dalam mempersiapkan makanan di meja makan. Manusia suka kalau penampilannya bagus, pakaiannya bagus, namanya bagus, tulisan tangannya bagus, kota dan jalanjalan kotanya bagus, dan semua pemandangan di depan matanya bagus. Pendek kata, manusia ingin segenap hidupnya dikelilingi kebaikan dan keindahan.
Bagi binatang, tak ada masalah keindahan. Yang penting bagi binatang adalah makanannya, bukan keindahan makanannya. Binatang tak peduli dengan pelana yang bagus, pemandangan yang bagus, tempat tinggal yang bagus dan sebagainya.
4. Memuja dan Menyembah
Memuja dan menyembah merupakan salah satu perwujudan tertua dan paling mantap dari jiwa manusia dan salah satu dimensi terpenting dari eksistensi manusia. Kalau kita kaji antropologi, kita akan tahu bahwa di mana dan kapan pun manusia ada, di situ ada memuja dan menyembah. Yang beda hanyalah bentuk penyembahan dan Tuhan yang disembah. Bentuk penyembahan juga beragam, mulai dari tarian dan gerakan bersama yang berirama yang disertai tata kebaktian dan bacaan, sampai bentuk penyembahan yang paling tinggi, yaitu menghambakan diri, dan bacaan yang paling maju. Sembahannya beragam, mulai dari kayu dan batu, hingga Wujud abadi yang wajib ada, Wujud yang bebas dari segala bentuk batasan ruang dan waktu.
Menyembah (ibadah) bukanlah rekayasa para nabi. Para nabi hanya mengajarkan cara beribadah yang benar. Para nabi juga mencegah dan melarang penyembahan kepada wujud Iain selain Allah SWT. Menurut ajaran agama yang tak terbantahkan, dan menurut pandangan yang dikemukakan sebagian pakar sejarah seperti Max Mueller, manusia purba adalah manusia tauhid, mereka menyembah satu Tuhan. Menyembah berhala, bulan, bintang atau manusia merupakan penyimpangan yang terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, bukanlah pada awalnya manusia menyembah berhala, menyembah manusia atau makhluk lain, dan berangsur-angsur karena perkembangan budaya lalu manusia menyembah Allah. Menyembah yang sering kali disebut dalam pengertian agama, pada umumnya ada pada kebanyakan orang.
Sudah dikutipkan sebelumnya perkataan Fromme yang berbunyi, “Manusia ada yang menyembah makhluk hidup, pohon, patung emas atau patung batu, Tuhan yang gaib, orang suci atau setan. Ada yang menyembah leluhurnya, bangsanya, kelasnya, kelompoknya, uang dan kesejahteraan. Manusia ada yang menyadari bahwa keyakinan agamanya beda dengan keyakinan non-agamanya, atau justru manusia beranggapan tak beragama. Pertanyaannya bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, tetapi pertanyaannya adalah apa agamanya?”
William James, seperti dikutip Dr. Iqbal, mengatakan:
“Dorongan untuk beribadah merupakan konsekuensi wajib dari fakta bahwa karena bawah-sadar diri empiris manusia adalah diri sosial, maka diri sosial ini akan menemukan “sahabat luar biasa”-nya pada dunia ideal. Kebanyakan orang, baik terus-menerus maupun terkadang, menyebut-nyebut “sahabat luar biasa” ini. Orang buangan paling bersahaja di muka bumi ini pun baru akan merasa riil dan absah kalau dia memiliki pengakuan tinggi seperti ini.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 89)
Profesor William James, mengenai universalitas pengertian seperti ini pada semua orang, mengatakan:
“Manusia barangkali berbeda sekali dalam sejauh mana mereka dibayangi perasaan bahwa ada pengawas ideal. Perasaan seperti ini merupakan bagian yang jauh lebih penting dari kesadaran sebagian orang, sedangkan pada sebagian orang lainnya kurang penting. Orang-orang yang sangat kuat perasaan seperti ininya, barangkali adalah orang-orang yang sangat religius. Namun saya yakin bahwa bahkan orang-orang yang mengaku tidak memiliki perasaan seperti ini, sebenarnya mereka tengah menipu diri mereka sendiri, dan sesungguhnya sedikit banyak mereka memiliki perasaan seperti ini.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)
Penciptaan pahlawan-pahlawan fiktif dari kalangan atlet, cendikiawan atau ulama terjadi karena dalam diri manusia ada nurani pemuliaan. Nurani ini menginginkan adanya wujud yang terpuji dan menawan hati, dan ingin memujinya sedemikian rupa sehingga wujud tersebut jadi dialami.
Pujian berlebihan manusia modern untuk pahlawan bangsa atau kelompoknya, dan pujiannya untuk kelompok, doktrin, ideologi, bendera, kampung halamannya, dan kesiapannya untuk bekorban demi semua ini, terjadi karena perasaan atau nurani seperti ini juga. Nurani ingin memuji merupakan hasrat naluriah untuk menyembah wujud yang luar biasa sempurna dan indah, satu wujud yang tak ada kelemahannya. Menyembah makhluk, apa pun bentuk penyembahan itu, merupakan penyimpangan perasaan atau nurani ini dari jalurnya yang benar.
Melalui ibadah atau menyembah, manusia ingin melepaskan diri dari keterbatasan eksistensinya untuk bergabung dengan satu kebenaran yang tak ada kelemahannya, yang tak akan hancur, atau yang tak ada batasnya. Ilmuwan besar Einstein mengatakan:
“Dalam keadaan seperti ini manusia sadar bahwa tujuan dan ambisinya tak ada harganya, dan merasa betapa hal-hal yang supranatural dan metafisis membuat dirinya terpesona dan kagum. Berdoa dan bersembahyang yang merupakan sarana untuk mencerahkan jiwa, adalah perbuatan wajar dan sangat dibutuhkan. Melalui sarana ini pulau kecil kepribadian kita sontak menemukan posisinya dalam totalitas kehidupan yang lebih besar.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)
Menyembah dan memuji menunjukkan suatu kemungkinan, suatu hasrat untuk keluar dari lingkungan material, dan suatu kecenderungan untuk masuk dalam cakrawala yang lebih tinggi dan lebih luas. Hasrat seperti ini hanya manusia saja yang punya. Karena itu menyembah atau beribadah merupakan satu lagi dimensi mental dan spiritual manusia.
Beragam dorongan hati mempengaruhi orang seorang. Dan pengaruhnya pada orang yang satu dan orang yang lain beragam. Dan dorongan hati mana yang dipilih oleh individu, antara individu yang satu dengan yang lain beragam pilihannya. Dan ini semua merupakan masalah yang akan dibahas nanti.
Beragam Daya Manusia
Daya atau kekuatan tak perlu didefinisikan. Faktor yang menimbulkan pengaruh disebut daya atau kekuatan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan sumber pengaruh. Karena itu segala sesuatu, apakah sesuatu itu benda non-organis ataukah tumbuhan, binatang atau manusia, memiliki daya atau kekuatan. Bila daya atau kekuatan ini disertai kesadaran, pemahaman dan hasrat, maka disebut kemampuan. Salah satu perbedaan antara binatang dan manusia di satu pihak, serta tumbuhan dan benda non-organis di lain pihak, adalah bahwa tak seperti benda non-organis dan tumbuhan, binatang dan manusia terdorong untuk menggunakan sebagian daya atau kekuatannya karena menginginkannya atau karena ada kecenderungan untuk menggunakan kekuatan itu atau karena ada rasa takut. Magnet memiliki sifat menarik besi secara otomatis akibat adanya tekanan alamiah. Namun magnet tak tahu kalau magnet tersebut efektif, juga tarikan magnet tersebut terjadi bukan karena kecenderungan magnet sendiri, keinginan magnet tersebut, juga bukan karena adanya rasa takut sehingga magnet tersebut dituntut untuk menarik besi. Begitu pula yang terjadi dengan api yang memiliki sifat membakar, tumbuhan yang memiliki sifat tumbuh, potion yang memiliki sifat berkembang dan berbuah. Namun binatang, bila berjalan, tahu apa yang tengah dilakukan. Binatang berjalan karena memang ingin berjalan. Binatang berjalan bukan karena paksaan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa binatang berjalan karena memang memilih untuk berjalan. Dengan kata lain, beberapa daya binatang merupakan bawahan dari pilihannya. Binatang beraktivitas hanya bila me-nginginkannya.
Begitu pula dengan sebagian kekuatan manusia. Sebagian kekuatan manusia menjadi bawahan dari pilihannya. Namun ada satu perbedaan. Pilihan binatang dikendalikan oleh kecenderungan alamiah dan naluriahnya. Binatang tak berdaya menentang perintah nalurinya. Kalau nalurinya sudah tertarik untuk menuju ke arah tertentu, maka otomatis binatang itu akan ke arah tertentu tersebut. Binatang tak dapat melawan kecenderungan naluriahnya. Binatang juga tak dapat mempertimbangkan untung ruginya. Binatang tak dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan, yang sekarang ini tidak menjadi kecenderungannya, kelak sangat dibutuhkan.
Namun yang terjadi pada din manusia tidaklah begitu. Manusia berdaya untuk menentang kecenderungan dan dorongan naluriahnya, dan berdaya untuk tidak mengikuti kecenderungan dan dorongan naluriahnya. Manusia memiliki daya untuk memilah-milah, karena manusia memiliki daya lain yang disebut kehendak. Kehendak ini bekerja atas arahan akal atau fakultas intelektual manusia. Fakultas intelektual inilah yang membentuk pendapat, dan kehendaklah yang mempraktikkan pendapat tersebut.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa daya atau kekuatan manusia beda dengan daya atau kekuatan binatang. Perbedaannya adalah dalam dua hal. Pertama, manusia memiliki sejumlah kecenderungan dan dorongan spiritual yang membuat manusia dapat memperluas bidang aktivitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih tinggi, sedangkan binatang tak dapat keluar dari batas urusan material. Kedua, manusia memiliki daya akal dan kehendak. Dengan daya ini manusia dapat menolak kecenderungan naluriahnya dan dapat membebaskan diri dari pengaruh kecenderungan naluriahnya yang bersifat memaksa itu. Manusia dapat mengendalikan kecenderungan naluriahnya dengan menggunakan akalnya. Manusia dapat menentukan batas bagi tiap kecenderungannya, dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling berharga.
Daya yang luar biasa ini hanya dimiliki manusia, sedangkan binatang tidak memiliki daya seperti ini. Daya inilah yang menjadikan manusia tepat untuk berkewajiban menaati ajaran agama. Daya ini pulalah yang membuat manusia punya hak untuk memilih, sehingga manusia benar-benar merupakan makhluk yang merdeka, berkemauan dan dapat menentukan pilihan.
Kecenderungan dan dorongan merupakan semacam ikatan antara manusia dan sesuatu yang berada di luar dirinya yang menarik manusia ke arah sesuatu tersebut. Kalau manusia semakin tunduk kepada kecenderungannya, maka dia semakin tak dapat mengendalikan dirinya dan semakin terperosok dalam kelesuan dan kesengsaraan batiniah. Nasibnya ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya, suatu kekuatan yang menarik manusia ke arah tertentu. Sebaliknya, daya akal dan kehendak merupakan daya batiniah dan manifestasi personalitas sejati manusia.
Bila seseorang mendapat dukungan akal dan kehendak, berarti dia mendapat kekuatannya sendiri dan sekaligus menyingkirkan pengaruh luar, maka dia pun merdeka dan menjadi “pulau yang merdeka” di tengah samudra dunia ini. Dengan menggunakan akal dan kehendaknya, manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan kepribadiannya pun memperoleh kekuatan. Bisa mengendalikan dan menjadi tuan bagi diri sendiri, dan bisa melepaskan diri dari pengaruh dorongan naluriah, merupakan objek sejati pendidikan Islam, suatu pendidikan yang tujuannya adalah kemerdekaan spiritual.
SadarDiri
Islam sangat menghendaki agar manusia kenal dirinya sendiri dan tahu posianya di alam semesta ini. Al-Qur’an menekankan agar manusia tahu siapa dirinya dan agar menyadari posisi dan statusnya di dunia ini sehingga dengan demikian dapat mencapai posisi yang tinggi yang sesuai bagi dirinya.
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang mengajarkan kepada manusia bagaimana membangun dirinya. Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab yang berisi filsafat teoretis yang cuma mengurusi berbagai diskusi dan pandangan. Apa pun pandangan yang dikemukakan Al-Qur’an, itu dimaksudkan untuk dilaksanakan dan ditindaklanjuti. Al-Qur’an mau agar manusia mengenal siapa dirinya. Namun pengenalan diri ini tidak berarti manusia harus tahu siapa nama dirinya, siapa nama ayahnya, tahun berapa dia lahir, apa negerinya, siapa istrinya, atau berapa jumlah anaknya.
Diri yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diberi nama “roh Tuhan”. Mengenal diri ini artinya adalah manusia sadar akan martabat dan kehormatannya dan memahami bahwa bila dirinya berbuat keji maka hal itu tidak sesuai dengan (mencemarkan) posisinya yang tinggi. Manusia supaya sadar akan kesuciannya sendiri sehingga nilai moral dan sosial yang suci akan ada artinya bagi dirinya.
Bila Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, Al-Qur’an ingin menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang kebetulan ada berkat kejadian tertentu yang buta dan tuli seperti perpaduan atom-atom yang terjadi secara tidak disengaja. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, dan karena alasan itu manusia memiliki misi dan tanggung jawab. Tak syak lagi bahwa di dunia ini manusia adalah makhluk yang paling kuat dan kuasa. Kalau bumi beserta isinya kita samakan dengan rumah tinggal, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuan rumah ini. Namun betulkah manusia telah dipilih untuk menjadi tuan, atau manusia telah memanfaatkan dunia dengan kekuatan atau trik.
Berbagai mazhab filsafat material menyatakan bahwa karena kebetulan semata kalau manusia berkuasa. Jelaslah bahwa dengan pandangan seperti ini maka masalah misi dan tanggung jawab jadi tak ada artinya. Dari sudut pandang Al-Qur’an, manusia dipilih untuk menjadi tuan (penguasa) di muka bumi, karena manusia memiliki kompetensi dan tepat untuk itu. Manusia berkuasa bukan karena kekuatan atau karena perjuangan. Manusia dipilih oleh otoritas yang maha kompeten, yang tak lain adalah Allah Ta’ala. Karena itu, seperti makhluk lain yang juga dipilih, manusia mengemban misi dan tanggung jawab. Karena misinya dari Allah SWT, maka tanggung jawab manusia juga kepada Allah SWT.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk pilihan dan diwujudkan dengan tujuan tertentu, menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri individu, dan keyakinan bahwa manusia adalah produk dari sejumlah kejadian asal-asalan, menimbulkan pengaruh psikologis yang lain. Arti sadar diri adalah manusia supaya menyadari posisi riilnya di dunia ini. Dia supaya tahu bahwa dirinya bukanlah sekadar makhluk bumi. Dia merupakan refleksi dari ruh ilahiah yang ada dalam dirinya. Manusia supaya tahu bahwa, dalam hal pengetahuan, dirinya berada di depan (mengungguli) malaikat. Manusia merdeka, memiliki daya untuk memilih dan berkehendak, dan bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain. Tanggung jawabnya antara lain adalah memajukan dunia:
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. (QS. Hud: 61)
Manusia supaya tahu bahwa dirinya adalah khalifah (wakil) yang ditunjuk Allah, SWT dan bahwa dirinya unggul bukan karena kebetulan. Karena itu manusia tidak patut mendapatkan sesuatu dengan lalim dan tidak patut mengira tak punya tanggung jawab.
Pengembangan Kemampuan
Ajaran Islam menunjukkan bahwa mazhab suci Islam juga memperhatikan semua dimensi yang dimiliki manusia, apakah dimensi fisis, spiritual, material, moral, intelektual, atau emosional. Mazhab suci Islam sangat memperhatikan semua dimensi ini, apakah individual atau kolektif, dan tidak mengabaikan aspeknya. Mazhab suci Islam memberikan perhatian khusus kepada pengembangan dan pemajuan semua dimensi ini sesuai dengan prinsip-prinsip tertentunya. Satu demi satu kami uraikan secara singkat.
Pengembangan Raga
Terialu banyak memperhatikan raga, dalam pengertian memuaskan hawa nafsu, sangat ditentang oleh Islam. Namun Islam memandang manusia berkewajiban menjaga kesehatan tubuhnya, dan mengharamkan setiap perbuatan yang merugikan atau membahayakan tubuh. Jika suatu kewajiban (seperti puasa) dinilai membahayakan kesehatan, bukan saja kewajiban tersebut kehilangan nilai wajibnya, bahkan dilarang. Setiap perbuatan yang tidak sehat, oleh Islam dianggap haram. Dan banyak garis kebijakan dikemukakan untuk kepentingan menjamin kesehatan tubuh dari sudut pandang ilmu kesehatan.
Sebagian orang tidak membedakan mana yang merawat tubuh, yang merupakan masalah kesehatan, dan mana yang memuaskan kenikmatan jasmani, yang merupakan masalah moral. Menurut mereka, karena Islam menentang pengumbaran nafsu jasmani, berarti Islam juga menentang pemeliharaan kesehatan jasmani. Mereka bahkan berpendapat bahwa perbuatan yang membahayakan kesehatan merupakan perbuatan moral dari sudut pandang Islam. Pikiran seperti ini pada umumnya salah dan membahayakan. Antara memelihara kesehatan dan pemuasan hawa nafsu, bedanya sangat besar.
Islam menentang hubungan seksual yang tidak bermoral. Mengumbar hawa nafsu menghalangi perkembangan spiritual. Mengumbar hawa nafsu bukan saja merugikan kesehatan jiwa, namun juga merugikan kesehatan jasmani. Bahkan bisa menghancur-kan kesehatan jasmani, karena mengumbar hawa nafsu menimbulkan keberlebihan, sedangkan keberlebihan pada dasamya mengganggu semua sistem tubuh.
Perkembangan Jiwa
Islam sangat memperhatikan perkembangan kemampuan mental dan pemikiran mandiri . Islam juga menentang semua yang bertentangan dengan kemandirian akal, seperti mengikuti secant membuta para leluhur atau orang terkemuka dan mengikuti mayoritas tanpa melakukan telaah. Mendorong daya kehendak, mendorong pengendalian din dan mendorong kemerdekaan dari kendali mutlak dorongan naluriah, merupakan basis dari banyak rukun dalam ibadah Islam dan ajaran Islam lainnya. Islam memberikan perhatian khusus untuk mendorong orang menyukai kebenaran, suka menuntut ilmu dan mendorong perkembangan rasa estetis dan mendorong orang untuk suka beribadah.
Peran Efektif Manusia dalam Membangun Masa Depannya
Di dunia ini ada dua jenis benda: organis dan non-organis. Benda non-organis seperti air, api, batu dan debu merupakan benda tak bernyawa, dan tak ada perannya dalam pembentukan atau peayempurnaan dirinya. Benda-benda ini terbentuk semata-mata karena dampak faktor-faktor dari luar dirinya, dan terkadang benda-benda ini jadi sempurna karena dampak faktor-faktor yang sama. Benda-benda ini tidak terlihat berupaya membangun atau mengembangkan dirinya.
Sebaliknya, kita melihat benda-benda hidup seperti tumbuhan, binatang dan manusia selalu berupaya melindungi din dari bahaya, kerugian atau kerusakan. Benda-benda hidup ini menerima materi lain tertentu dan berketurunan. Tumbuhan memiliki sejumlah kemampuan alamiah yang efektif dalam membentuk masa depannya. Tumbuhan memiliki daya untuk menyerap materi dari bumi dan udara. Tumbuhan memiliki daya yang membantunya dari dalam untuk tumbuh dan berkembang. Tumbuhan juga memiliki daya yang memungkinkannya beranak-pinak.
Binatang memiliki semua daya alamiah ini, di samping memiliki sejumlah daya sadar yang lain seperti indera untuk melihat, indera untuk belajar dan meraba, dan dorongan serta kecenderungan alamiah yang disebutkan sebelumnya. Melalui daya dan kemampuan ini, binatang di satu pihak melindungi dirinya dari kerugian dan kecelakaan, dan di pihak lain mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan individualnya dan kelangsungan hidup spesiesnya. Dalam diri manusia ada semua daya dan kemampuan alamiah dan sadar yang ada dalam diri binatang dan tumbuhan. Manusia juga mempunyai sejumlah dorongan yang lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Manusia memiliki akal dan kehendak, sehingga nasib manusia sangat banyak ditentukan oleh manusia sendiri. Dan dengan akal dan kehendak ini manusia dapat menentukan masa depannya sendiri.
Dari apa yang telah dipaparkan jelaslah bahwa sebagian benda yang ada, seperti benda non-organis, tak berperan dalam menentukan masa depannya. Ada beberapa benda lagi yang memiliki peran untuk menentukan masa depannya, namun perannya bukan peran yang sadar dan merdeka. Alam mengarahkan daya yang ada dalam dirinya sedemikian rupa sehingga benda-benda ini secara tak sadar melindunginya dan membentuk masa depannya. Inilah yang terjadi pada tumbuhan. Ada lagi benda-benda lain yang perannya lebih besar. Peran benda-benda ini adalah peran yang sadar, meskipun tidak merdeka. Benda-benda ini berupaya menjaga kelangsungan eksistensinya dengan semacam kesadaran diri dan pengetahuan tentang lingkungannya. Itulah yang terjadi pada binatang. Namun peran manusia lebih aktif, lebih ekstensif dan lebih luas dalam menentukan masa depannya. Perannya adalah peran yang sadar dan peran yang merdeka. Manusia sadar akan dirinya dan juga lingkungannya. Melalui kehendak dan daya pikirnya manusia dapat memilih masa depannya seperti yang dikehendakinya. Peran manusia jauh lebih luas daripada peran binatang. Luasnya bidang peran manusia dalam menentukan masa depannya ini terjadi karena manusia memiliki tiga sifat khas:
1. Keluasan Informasinya
Dengan pengetahuannya manusia memperluas informasinya, dari informasi yang ringan tentang alam sampai informasi yang mendalam tentang alam. Manusia mengetahui hukum alam, dan dengan menggunakan hukum alam ini manusia dapat memola alam seperti yang dibutuhkan hidupnya.
2. Keluasan Hasratnya
Sifat khas manusia ini sudah dijelaskan dalam bab Manusia dan Binatang dan Manusia sebagai Makhluk Multidimensional.
3. Manusia Memiliki Kemampuan Khusus untuk Membentuk Dirinya
Tak ada makhluk lain yang dalam hal ini dapat disamakan dengan manusia. Meskipun pada organisme hidup tertentu lainnya seperti tumbuhan dan binatang dapat terjadi juga perubahan tertentu akibat faktor pelatihan khusus, namun organisme hidup ini tak dapat membuat sendiri perubahan ini. Manusialah yang membawa perubahan yang diperlukan organisme hidup ini. Lagi pula, kalau dibandingkan dengan manusia, kemungkinan berubah pada organisme hidup ini sangat terbatas.
Mengenai kemampuan dan kebiasaannya, manusia hanyalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, binatang lahir dalam keadaan membawa sejumlah kemampuan khususnya. Meski manusia tak membawa kemampuan dan kebiasaan, namun dia mampu memperoleh banyak kemampuan. Secara berangsur-angsur manusia memiliki sejumlah “dimensi kedua” di samping dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka-nya. Tak seperti bentuk organ tubuhnya yang mengalami pe-nyempurnaan ketika manusia masih ada di rahim ibunya, bentuk organ psjkologisnya yang dikenal sebagai kemampuannya, kebiasaannya dan karakter moralnya, sebagian besar mengalami penyempurnaan setelah manusia lahir.
Itulah sebabnya kenapa setiap makhluk, termasuk binatang, hanya seperti apa adanya. Hanya manusia saja yang dapat menjadi seperti apa yang dikehendakinya. Juga karena alasan inilah semua binatang dari satu spesies memiliki kemampuan dan sifat psikologis yang sama, di samping memiliki organ dan anggota badan yang sama. Kucing memiliki kebiasaan tertentu. Begitu pula anjing dan semut, misalnya. Kalau ada perbedaan di antara individu hewan itu, itu tidak penting. Namun perbedaan kebiasaan dan perbedaan karakter moral di antara individu manusia tak ada batasnya. Karena itu manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih akan jadi apa dia.
Banyak riwayat menyebutkan bahwa pada Hari Kebangkitan nanti manusia akan dibangkitkan dalam bentuk yang sesuai dengan kualitas spiritualnya dan bukan dalam bentuk fisis tubuhnya. Dengan kata lain, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk binatang yang paling mirip dengan dirinya dari segi kualitas moralnya. Orang-orang yang akan dibangkitkan dalam bentuk manusia adalah orang-orang yang kualitas moralnya dan dimensi spiritual sekundernya sesuai dengan martabat manusia. Dengan kata lain, orang-orang yang moral dan akhlaknya adalah moral dan akhlak manusia.
Berkat pengetahuannya, manusia dapat menundukkan alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena memiliki kemampuan untuk membentuk diri, maka manusia membentuk dirinya sesukanya, dan dengan demikian dia menjadi penentu masa depannya sendiri. Semua lembaga pendidikan, sekolah moral dan ajaran agama dimaksudkan untuk mengajari manusia cara membentuk masa depannya. Jalan lurus adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang sejahtera, sedangkan jalan yang berliku adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang porak-peranda dan sengsara. Allah SWT berfirman yang artinya:
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur, dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insân: 3)
Dari uraian di atas kita tahu bahwa pengetahuan dan iman ada perannya sendiri-sendiri dalam membentuk masa depan manusia.
Peran pengetahuan adalah menunjukkan jalan atau cara membentuk masa depan manusia. Pengetahuan membuat manusia dapat membentuk masa depannya sesukanya. Iman member! manusia petunjuk membentuk masa depannya sedemikian rupa sehingga masa depannya itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Iman mencegah manusia jangan sampai membentuk masa depannya dengan basis material dan individualistic. Iman mengarahkan hasrat manusia, agar manusia juga menginginkan hal-hal yang spiritual, jangan sampai manusia hanya terpaku pada hal-hal yang materialistis.
Pengetahuan bisa menjadi alat untuk memenuhi keinginan manusia. Pengetahuan membantu manusia mengelola alam. Namun pengetahuan tidak mau tahu bagaimana alam dipola dan apakah orang memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan individu-individu tertentu saja. Semuanya itu tergantung pada manusia yang memiliki pengetahuan. Sedangkan iman bekerja laksana kekuatan pengendali. Iman mengendali-kan keicenderungan manusia dan mengarahkan kecenderungan manusia ke jalan kebenaran dan moralitas. Iman membentuk manusia, dan manusia membangun dunia dengan kekuatan ilmu atau pengetahuannya. Kalau iman dan ilmu berpadu, maka manusia dan dunia akan seperti yang diharapkan.
4. Kehendak dan Kemerdekaan Manusia
Kendatipun manusia cukup merdeka untuk dapat mengembangkan organ psikologisnya, untuk dapat mengelola lingkungan alamnya menjadi seperti yang dikehendakinya, dan untuk dapat membentuk masa depannya, namun jelaslah manusia banyak keterbatasannya, dan kemerdekaannya hanya relatif. Dengan kata lain, kemerdekaannya ada batasnya, dan hanya dalam keterbatasannya itulah manusia dapat memilih masa depan yang cerah atau masa depan yang gelap.
Ada beberapa segi dalam keterbatasan manusia:
(i) Keturunan
Manusia datang ke dunia ini dengan membawa karakter manusia. Karena kedua orangtuanya manusia, maka dia mau tak mau manusia juga. Dari kedua orangtuanya dia mewarisi sejumlah karakter keturunan, seperti warna kulit dan matanya dan ciri-ciri lain tubuhnya yang sering kali tetap ditularkan selama beberapa generasi. Manusia tak dapat memilihnya. Ciri-ciri seperti itu diterimanya melalui proses pewarisan.
(ii) Lingkungan Alam dan Geografis
Lingkungan alam dan geografis manusia, dan daerah tempat dia besar, selalu menimbulkan sejumlah pengaruh pada tubuh dan jiwanya. Masing-masing daerah beriklim panas, daerah beriklim dingin dan daerah beriklim sedang, tak terelakkan berpengaruh pada jiwa dan moral masing-masing penduduknya. Begitu pula dengan daerah bergunung dan daerah gurun.
(iii) Suasana Sosial
Suasana sosial manusia merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik spiritual dan moralnya. Suasana sosial menetapkan agar manusia memiliki bahasa, tatacara sosial, adat dan agama.
(iv) Faktor Sejarah dan Waktu
Dari segi lingkungan sosial, manusia bukan saja dipengaruhi oleh masa kini, namun juga masa lalu penting perannya dalam membentuk wataknya. Pada umumnya ada mata rantai antara setiap wujud sekarang dan setiap wujud dahulu. Masa lalu dan masa depan suatu wujud tidak sepeiti dua benda yang satu sama lain benar-benar terpisah atua berdiri sendiri, namun seperti dua proses yang berkesinambungan. Masa lalu adalah benih dan nukleus (inti) masa depan.
Manusia Memberontak Terhadap Keterbatasan
Sekalipun manusia tak mungkin memutuskan sepenuhnya hubungannya dengan keturunannya, lingkungan alamnya, suasana sosialnya dan faktor sejarah dan faktor waktu, namun manusia dapat memberontak terhadap pembatasan yang terjadi akibat keturunan, lingkungan alam, suasana sosial dan faktor sejarah serta faktor waktu. Manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk dapat membebaskan diri dari faktor-faktor ini. Berkat ilmu, pengetahuan dan akalnya di satu pihak, dan kehendak serta imannya di pihak lain, manusia dapat mengubah faktor-faktor ini sekehendaknya, dan dapat menentukan nasibnya sendiri.
Manusia dan Takdir
Pada umumnya diyakini bahwa takdir Tuhan merupakan faktor utama yang membuat manusia terbatas ruang geraknya. Dalam membahas faktor-faktor yang membatasi kemerdekaan manusia, masalah takdir tidak disinggung. Kenapa?
Apakah takdir Tuhan tak ada, atau apakah takdir bukan faktor pembatas? Tak ada keraguan bahwa takdir Tuhan ada, namun takdir tidak membatasi kemerdekaan manusia. Takdir memiliki dua bagian: qadha dan qadar. Arti qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa, sedangkan qadar adalah esdmasi tentang fenomena dan kejadian. Dari sudut pandang teologi sudah jelas dan pasti bahwa takdir Tuhan tidak berlaku langsung pada kejadian. Takdir Tuhan mengharuskan kejadian itu terjadi hanya melalalui sebabnya. Qadha Tuhan menghendaki agar tatanan dunia didasarkan pada sistem sebab-akibat. Apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia karena akal dan kehendaknya, dan apa pun keterbatasan yang dimiliki manusia karena faktor keturunan, lingkungan dan sejarah, namun oleh takdir Tuhan manusia ditundukkan kepada sistem sebab-akibat di dunia.
Karena itu qadha Tuhan tidak dianggap sebagai faktor yang membatasi kemerdekaan manusia. Apa pun pembatasan yang dikenakan pada manusia merupakan akibat keturunan, kondisi lingkungan dan kondisi sejarah manusia. Begitu pula, apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia, itu juga telah diputuskan oleh Allah SWT. Allah S\VT telah memutuskan agar manusia berakal dan berkehendak, dan dalam bidang terbatas kondisi alam dan sosial-nya manusia cukup mandiri dari kondisi-kondisi ini, sehingga manusia dapat menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri.
Manusia dan Kewajiban
Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa. Misalnya, mustahil menetapkan aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda, sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus dipaksakan kepada mereka.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual (berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti ini diberi nama “kewajiban”.
Untuk mengikat manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi dalam setiap kewajiban adalah:
(i) Akil Balig
Ketika manusia sampai pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.
Mustahil mengetahui dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata, atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).
Berdasarkan ini individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini merupakan salah satu syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya, kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum mencapai usia akil balig menurut hukum.
(ii) Sehat Rohani
Syarat lain untuk menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig, seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap berkewajiban, bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.
(iii) Tahu dan Sadar
Jelaslah orang baru bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut. Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu. Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum tersebut tidak benar.
Al-Qur’an berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur’an mengatakan bahwa orang tak boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban. Mereka akan menjawab, “Kami tidak tahu.” Akan dikatakan kepada mereka, “Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu hukum?” Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada orang yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT orang seperti itu dimaafkan.
(iv) Mampu
Orang baru berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemampuannya. Begitu pula, memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber yang adil dan arif:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah: 286)
Dengan kata lain, Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya. Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita berkewajiban menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya. Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan, begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi penonton yang mad kutu:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl: 60)
Karena seseorang atau suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan, maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah tidak bisa dijadikan sebagai alasan.
(v) Mampu Memilih dan Bebas Berkehendak
Prasyarat lain kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib berpuasa. Begitu pula dengan posisi seseorang yang memiliki sarana untuk pergi haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan.”
Dalam kasus keadaan, orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya.
Namun tak ancaman seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.
Namun tak ada kaidah umum berkenaan dengan efek keterpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban. Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian.
Syarat untuk Absah
Sejauh ini pembicaraan kita adalah tentang syarat berlakunya hukum pada wajib hukum. Kalau syarat ini tak ada maka orang tak harus melaksanakan kewajiban. Juga ada syarat lain yang dikenal dengan nama syarat sahnya pelaksanaan kewajiban. Kita tahu bahwa semua aktivitas, entah itu ibadah atau transaksi, harus memenuhi syarat tertentu dan harus memiliki kualitas tertentu agar dapat dianggap sah. Karena itu, syarat untuk sahnya suatu pelaksanaan kewajiban adalah bahwa seseorang yang tak memiliki syarat itu tidak dapat dianggap menjalankan kewajibannya dengan benar. Bila kewajiban dilaksanakan, padahal syaratnya belum tepenuhi, maka pelaksanaan kewajiban itu tidak sah.
Seperti berlakunya hukum, syarat sahnya pelaksanaan kewajiban juga banyak. Syarat tersebut dibagi menjadi dua golongan: umum dan khusus. Syarat khusus adalah syarat yang hanya untuk pelaksanaan kewajiban tertentu, dan dipelajari ketika mempelajari cara menunaikan kewajiban itu. Selain itu, ada beberapa syarat umum. Ada beberapa syarat yang menjadi syarat berlaku dan sahnya, dan ada beberapa syarat lain yang menjadi syarat berlakunya saja atau sahnya saja. Syarat sahnya juga ada tiga. Sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas ibadah dan transaksi. Sebagian merupakan syarat sahnya akdvitas ibadah saja dan sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas transaksi saja.
Kesehatan mental merupakan syarat bagi berlaku dan sahnya. Orang yang tak sehat rohaninya tak dapat dikenai hukum, dan perbuatannya, entah perbuatannya itu perbuatan ibadah atau transaksi, tidak sah. Misalnya, jika orang tak sehat rohaninya menunaikan ibadah haji, maka hajinya akan kacau. Begitu pula, dia tak boleh salat atau puasa, juga dia tak boleh berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum dalam salat berjamaah.
Mampu, seperti juga sehat rohani, merupakan syarat berlakunya hukum maupun syarat sahnya perbuatan. Begitu pula dengan non-paksaan. Orang yang terpaksa tak dapat menunaikan kewajiban, maka dia lepas dari kewajiban tersebut. Jika orang dengan terpaksa melakukan transaksi atau melakukan akad pernikahan, maka perbuatannya itu tidak sah.
Akil balig merupakan syarat berlakunya hukum namun bukan syarat sahnya suatu perbuatan. Anak kecil itu sendiri tak berkewajiban melaksanakan kewajiban agama. Namun jika dia cukup mengerti dan dapat melakukan perbuatan religius dengan benar seperti orang dewasa, maka perbuatannya itu sah. Dengan demikian dalam salat berjamaah anak kecil dapat berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum. Dia juga dapat melakukan ibadah atas nama orang lain. Fakta bahwa akil balig bukanlah syarat sahnya perbuatan ibadah, tak terbantahkan lagi. Namun bagaimana dengan transaksi? Sebagian ulama berpandangan bahwa akil balig merupakan syarat sahnya transaksi juga. Karena itu seorang anak laki-laki pun yang memiliki pengertian penuh tak dapat sendirian melakukan transaksi, baik untuk dirinya ataupun atas nama orang lain. Misal, anak kecil tak boleh menjual, membeli atau meminjamkan sesuatu, juga tak boleh membacakan bacaan nikah.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak lelaki yang mengerti tak boleh melakukan transaksi sendiri, meskipun dia dapat bertindak sebagai wakil orang lain. Tahu dan sadar dan juga tak adanya paksaan dari keadaan merupakan syarat berlakunya hukum, meski bukan syarat sahnya. Karena itu, jika seseorang secara tak sadar melakukan perbuatan, entah perbuatan itu perbuatan ibadah atau transaksi, perbuatannya itu tetap sah kalau perbuatan itu kebetulan sempurna dalam segala hal lainnya. Begitu pula, kalau seseorang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan transaksi atau akad nikah, maka perbuatan tersebut sah. Misal, ada seseorang mempunyai sebuah rumah yang sangat disukainya dan dia tak mau menjualnya. Namun mendadak sontak karena alasan tertentu dia sangat membutuhkan uang dan terpaksa menjualnya. Dalam kasus ini transaksinya sah. Contoh lain. Seorang lelaki dan seorang perempuan tak ada niat untuk menikah. Namun suatu penyakit berkembang sedemikian rupa sehingga dokter menyarankan agar lelaki itu atau wanita itu menikah segera, dan keduanya terpaksa menikah. Pernikahan ini juga sah. Ini menunjukkan bahwa dari segi keabsahan ada bedanya antara transaksi yang dilakukan di bawah paksaan dan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan. Transaksi yang pertama tidak sah, sedangkan transaksi yang kedua sah.
Nampaknya perlu dijelaskan kenapa transaksi yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah sedangkan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan sah. Dapatlah dikemukakan bahwa perse tujuan si pelaku perbuatan tak ada dalam kedua kasus itu. Orang yang menjual rumahnya atau bisnisnya karena diancam, sesungguhnya dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Begitu pula orang yang dipaksa keadaan (misal, untuk membiayai pengobatan) menjual rumah atau bisnisnya, juga dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Orang yang terpaksa menjual rumahnya karena harus membayar biaya pengobatan anaknya yang sakit, akan merasa sedih dengan transaksi ini. Sejauh menyangkut kemauannya, posisinya tidak berubah meski ada fakta bahwa orang yang berada di bawah ancaman itu ingin mencegah bahaya, sedangkan orang yang dipaksa keadaan ingin memenuhi kebutuhan yang mendesak. Juga tak terjadi perbedaan yang substansial bahwa dalam kasus paksaan, tangan manusia langsung terlibat dalam bentuk seorang tiran, dan dalam kasus dipaksa keadaan, tangan manusia hanya terlibat secara tak langsung dalam bentuk eksploitasi, kolonialisme dan sebagainya.
Faktanya adalah alasan kenapa Islam membedakan antara orang yang dipaksa dan orang yang dipaksa keadaan, dan memandang perbuatan orang yang dipaksa tidak sah, sedangkan orang yang dipaksa keadaan dipandang sah, ada di lain tempat. Baik orang yang dipaksa maupun orang yang dipaksa keadaan, sama-sama didesak kebutuhan. Kebutuhan orang yang dipaksa adalah menghindarkan kejahatan tiran. Di sini hukum Islam membantu orang yang berada di bawah paksaan tersebut, dan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan karena dipaksa itu tidak sah. Sebaliknya orang yang dipaksa keadaan membutuhkan langsung uang yang dicoba didapatnya melalui transaksi. Di sini sekali lagi hukum Islam membantu orang yang dipaksa keadaan, dan menyatakan bahwa transaksinya sah. Jika hukum Islam menyatakannya tidak sah, maka akibatnya tentu merugikan orang yang dipaksa keadaan itu. Misal, dalam contoh di atas, menjual rumah dinyatakan tidak sah. Maka akibatnya adalah si pembeli tidak menjadi pemilik rumah, dan si penjual juga tidak menjadi pemilik uang yang sangat dibutuhkannya untuk biaya pengobatan anaknya yang sakit. Itulah sebabnya kenapa para faqih mengatakan bahwa menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan di bawah paksaan berarti berpihak kepada orang yang dipaksa. Namun menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan, berarti tidak berpihak kepada orang yang dipaksa keadaan.
Di sini timbul pertanyaan lagi. Bolehkah orang memanfaatkan kebutuhan mendesak orang lain dan membeli barangnya dengan harga yang jauh di bawah harga wajar dan memandang transaksi tersebut sah? Tentu saja tidak. Kini timbul pertanyaan lagi. Apakah transaksi ini, sekalipun dilarang, tetap saja sah. Dan jika sah, apakah si pemanfaat keadaan tersebut diminta menutup kerugian dan membayar dengan harga pasar? Semua ini perlu dibahas lebih lanjut.
Pengertian yang dewasa (rusyd) merupakan syarat sahnya, meski bukan syarat berlakunya hukum. Dalam hukum Islam, orang yang ingin melakukan perbuatan yang mempengaruhi masyarakat, seperti menikah atau melakukan transaksi atas kemauan sendiri, harus memiliki keleluasaan dan penilaian, yaitu pengertian yang cukup dan kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan dengan benar transaksi yang hendak dilakukannya, selain memenuhi syarat umum lainnya seperti sudah akil balig, sehat rohani, mampu, dan memiliki kehendak bebas.
Dalam hukum Islam, belum cukup hanya dengan sehat rohani saja orang dapat menikah atau menjual harta. Dia juga harus sudah berusia akil balig, dan transaksinya dilakukan atas dasar kehendak bebas. Pernikahan anak lelaki dan anak perempuan baru sah kalau keduanya memiliki kecerdasan yang memadai untuk dapat mengetahui makna pernikahan: untuk apa pernikahan itu, apa tanggung jawabnya, dan bagaimana dampaknya pada nasib individu. Anak lelaki atau anak perempuan tak boleh asal menikah saja, karena menikah merupakan sesuatu yang sangat penting artinya.
Begitu pula, anak lelaki atau anak perempuan yang memiliki harta sendiri yang didapat dari warisan atau lainnya, tak dapat memiliki hartanya hanya karena sudah berusia akil balig. Anak lelaki dan anak perempuan tersebut perlu diuji untuk mengetahui apakah mereka cukup mengerti untuk memiliki dan memanfaatkan harta mereka. Jika mereka belum memiliki pengertian yang memadai, maka harta mereka tetap diurus oleh wali mereka yang sah. Al-Qur’an memfirmankan:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. (QS. an-Nisâ’: 6)
Sumber: http://sriyandi.wordpress.com/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan