Hubungan muslim dengan non-muslim adalah hubungan ta'aruf (saling megenal), ta'awun (saling menolong), dalam birr (kebaikan) dan `adl (keadilan).
Firman Allah swt dalam ta'aruf yang boleh membawa kepada ta'awun;
“ Hai manusia, sesunguhnya Kami telah mencipakanmu terdiri dari jenis lelaki dan wanita dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (berpuak-puak) untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Amat Berpengalaman.”
(QS. Al-Hujarat:13).
Dalam perintahnya tentang berbuat baik (birr) dan adil, Allah swt berfirman:
“ Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu karena mereka tidak mengusirmu dari tempat tingal (daerahmu) dan kamu berbuat adil terhadap mereka. Sesunguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”
(QS. Al-Mumtahanah:8).
Di sini diperlukan saling beroleh manfaat dan kemaslahatan sehingga dapat mempererat hubungan kemanusiaan. Namun di sini bukan bererti memperbolehkan kaum muslimin mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Pelarangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin dimaksudkan untuk menghindari kebijaksanaan dalam pembuatan fakta (perjanjian) yang justru menguntungkan orang-orang kafir dalam melawan kaum muslimin, menyetujui kekafiran mereka yang mana hal ini amat berbahaya bagi Islam dan akan melemahkan kekuatan jamaah Islam. Rela (ridha) terhadap kekafiran adalah juga bentuk kekafiran yang dicegah dan dijaga ketat oleh Islam.
Adapun jika hubungan ini bermotif musalamah (mengajak damai), Mu'asyarah al jamilah (bergaul dengan baik), Mu'amalah bil husna (bermasyarakat secara baik), tabadulul maslahat (saling menguntungkan) dan ta'awun atas dasar kebaikan dan takwa justru inilah yang diserukan Islam.
Jaminan Kebebasan Beragama
Islam menetapkan musawarah (persamaan) antara orang zimmi dengan orang muslim. Mereka (zimmi) berkewajiban seperti kewajiban kaum muslimin dan mempunyai hak seperti kaum muslimin juga. Dan Islam menjamin kebebasan mereka dalam beragama dengan beberapa keterangan:
Pertama, tidak memaksa seseorang meninggalkan agama atau memaksa menganut ideologi tertentu,” Tidak ada pemaksaan (bagi seseorang) menganut agama. Sungguh telah jelas kebenaran daripada kesesatan.”
Kedua, Menjadi hak ahlul kitab melaksanakan syiar agama mereka. Gereja-gereja tidak boleh diruntuhkan, palang salib tidak boleh dipatahkan. Rasulullah saw bersabda,” Biarkan mereka menjalankan agama mereka.”
Ketiga, Islam membolehkan mereka apa yang dibolehkan agama mereka berupa makanan dan lain-lain. Makan babi tidak boleh dibunuh, khamar tidak boleh ditumpahkan, selama dibolehkan agama mereka. Dengan demikian Islam memberikan kelonggaran kepada mereka lebih dari kelongaran yang diterima kaum muslimin itu sendiri, karena khamar dan babi diharamkan bagi kaum muslimin.
Keempat, mereka berkebebasan dalam masalah perkawinan, talak, nafkah, dan bahkan mereka boleh berbuat sekhendak hati tanpa ada ikatan atau batas.
Kelima, Islam menjaga diri dan hak mereka. Mereka bebas berdiskusi dan berdebat dalam batas-batas logik dengan berpegang kepada etik kesopanan dan menghindari keras kepala dan kekerasan. Allah swt berfirman: “ Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali terhadap orang-orang zalim di antara mereka. Dan katakanlah: Kami telah beriman kepada ( kitab-kiab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian. Tuhan kami dan Tuhan kalian satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”
(Al-ankabut:46).
Keenam, dalam masalah `uquubaat Islam menyamakan mereka dengan kaum muslimin—menurut sebagian mazhab—Dalam waris Islam menyamakan orang zimmi dengan kaum muslimin dalam masalah penggugatan hak waris. Orang kafir zimmi tidak mewarisi kerabatnya yang muslim seperti orang muslim tidak mewarisi kerabatnya yang zimmi.
Ketujuh, Islam membolehkan mengunjungi mereka, menjenguk mereka yang sakit, membingkiskan hadiah, berjual beli dan bentuk-bentuk mu'amalah yang lainnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan